Ada satu ayat Al-Qur’an yang kerap dikutip oleh Menteri Agama RI, Prof. Nasaruddin Umar, dalam berbagai kesempatan sambutan dan ceramahnya. Ayat itu bertutur tentang perjalanan spiritual Nabi Musa a.s. saat berdialog dengan Tuhannya, hingga ia kemudian mendapat gelar kalîmullah, nabi yang diajak berbicara langsung oleh Allah.
Ayat tersebut terdapat dalam Surah Ṭāhā (20):12,
“… maka tanggalkanlah terompahmu; sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci,”
Pertama kali saya mendengar Prof. Nasar mengutip ayat ini adalah saat menutup kegiatan “Sarasehan Kemasjidan dan Lokakarya Nasional BKM” di Jakarta, 8 Juli lalu.
Resakralisasi Masjid dan Ruang Ibadah
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Nasar menekankan pentingnya upaya resakralisasi masjid. Menurutnya, kini tengah berlangsung gelombang desakralisasi tempat ibadah. Masjid tak lagi menjadi titik temu antara hamba dan Sang Pencipta. Ketika seseorang memasukinya, kesan agung dan suci yang dahulu melekat kini memudar.
Meminjam istilah Mircea Eliade, tempat ibadah kehilangan nuansa mysterium tremendum et fascinans yakni pengalaman yang misterius, menakjubkan, dan menggetarkan, sehingga seseorang merasa terpanggil untuk kembali datang dan berdekatan dengan yang transenden.
Menurut Prof. Nasar, seseorang yang memasuki tempat suci semestinya mempersiapkan diri agar selaras dengan gelombang spiritual di dalamnya. Di sinilah ayat “… maka tanggalkanlah terompahmu” menjadi relevan. Terompah, dalam makna harfiah, memang harus dilepas saat memasuki masjid. Namun, secara simbolik, “terompah” juga melambangkan segala hal yang bersifat duniawi.
Karena itu, ayat ini dapat dimaknai sebagai ajakan untuk menanggalkan keduniawian saat berada di hadapan Yang Mahasuci.
Adab Memasuki Tempat Suci
Al-Qur’an juga menjelaskan adab lainnya saat memasuki masjid dalam Surah al-A‘rāf (7):31:
“Wahai anak Adam, pakailah pakaian terbaikmu setiap kali (memasuki) masjid…”
Fikih juga mengajarkan agar kita mandi, bersuci, mengenakan pakaian yang bersih, serta memakai wewangian sebelum memasuki masjid. Semua itu merupakan wujud kesiapan lahir dan batin dalam menyambut kesucian tempat ibadah.
Ayat “Terompah” dan Ekoteologi
Dalam kesempatan lain, saat membuka “Konferensi Internasional tentang Ekoteologi”, Prof. Nasar kembali mengutip ayat ini. Kali ini, beliau mengaitkannya dengan krisis lingkungan hidup. Tradisi positivistik telah mendorong manusia menanggalkan kesakralan bumi dan memperlakukannya secara serampangan. Alam tak lagi dihormati, melainkan dieksploitasi.
Dengan mengingatkan bahwa “seluruh bumi adalah masjid”, Prof. Nasar menegaskan pentingnya memperlakukan bumi sebagai ruang suci. Sabda Nabi Muhammad saw. menguatkan hal ini:
“Dijadikan bumi sebagai masjid bagiku dan alat untuk bersuci.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ayat ini juga menjadi salah satu favorit saya. Saat masih bertugas sebagai penghulu, saya kerap mengutipnya dalam bimbingan pernikahan.
Saya sampaikan bahwa ketika sepasang suami istri menikah, masing-masing harus menanggalkan terompahnya. Pernikahan adalah institusi yang sakral (mîtsāq ghalîzh), tempat dua individu berjanji untuk membentuk satu kesatuan hidup.
Dalam konteks ini, “terompah” saya maknai sebagai simbol masa lalu. Kita menggunakan sandal atau sepatu dalam menapaki perjalanan hidup. Maka, ketika seseorang memasuki pernikahan, ia harus siap meninggalkan masa lalu yang berpotensi menjadi ganjalan.
Ini termasuk pengalaman cinta sebelumnya, luka lama, atau kenangan yang dapat merusak keutuhan relasi bila terus diungkit. “Menanggalkan” di sini bukan berarti “membuang”, melainkan menyikapi masa lalu sebagai ‘ibrah pelajaran yang mencerahkan masa depan.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Ḥasyr (59):18:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
Ketika seseorang memutuskan menempuh jalan spiritual melalui tarekat dan berbaiat kepada seorang guru mursyid, ia juga mesti menanggalkan “terompah”-nya. Ia perlu datang sebagai gelas kosong, siap menerima ilmu tanpa prasangka.
Tak sepatutnya ia membandingkan guru yang satu dengan yang lain, atau merasa lebih berilmu. Adab utama seorang murid adalah kerendahan hati dan keterbukaan terhadap transformasi batin.
Refleksi Birokrasi dan Dunia Kerja
Saya pun menerapkan makna ayat ini dalam dunia birokrasi. Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), ketika saya dirotasi ke bidang baru atau mendapatkan atasan baru, saya berusaha mengosongkan “gelas” saya. Saya tanggalkan “terompah” berupa pengalaman, asumsi, bahkan prasangka, agar dapat menerima pengetahuan baru secara utuh.
Demikian pula ketika menangani konflik sosial keagamaan. Saya menanggalkan stereotip terhadap kelompok yang bersengketa, agar dapat menganalisis persoalan secara objektif. Pengetahuan lama tetap berguna, tetapi disimpan sementara agar tidak mengaburkan realitas baru yang tengah saya hadapi.
Sikap terbuka ini pula yang gagal dimiliki oleh Nabi Musa saat berguru kepada Khidir a.s. karena terlalu mengandalkan pengetahuannya sendiri.
Khidir berkata kepadanya:
“Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku.” (Q.S. al-Kahf: 67)
Musa terus-menerus mempertanyakan tindakan Khidir karena merasa bahwa apa yang ia saksikan tidak sesuai dengan pengetahuan sebelumnya. Dalam dunia birokrasi, dalam kehidupan spiritual, dan dalam kehidupan rumah tangga, kita perlu menanggalkan terompah pengetahuan lama kita, agar dapat menerima realitas dengan jernih.
Dalam istilah fenomenologi Husserl, proses ini disebut epoche mengurung fenomena dari prasangka, mengambil jarak darinya, agar dapat melihatnya dengan lebih objektif dan mendalam.
Tinggalkan Balasan