Bineka.co.id, Makassar – Dinamika tarif ekspor Amerika Serikat terhadap Indonesia menuai perbedaan pandangan di Sulsel. Pemprov Sulsel menilai kebijakan itu berpotensi menekan kinerja komoditas unggulan daerah, khususnya perikanan dan nikel. Namun Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia menegaskan dampaknya relatif kecil karena volume ekspor Sulsel ke Negeri Paman Sam masih terbatas, hanya sekitar lima persen dari total.

Sekprov Sulsel Jufri Rahman mengungkapkan bahwa dinamika tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat telah menekan kinerja sektor pengolahan ikan, udang, dan nikel. Dalam forum Sulsel Talk bertajuk “Mendorong Akselerasi Ekonomi Sulsel di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global” di Makassar, Jufri menekankan pentingnya mengantisipasi tantangan perdagangan global.

“Perekonomian daerah ini sangat bergantung pada sektor strategis seperti industri pengolahan, pertanian, dan pertambangan, yang rentan terhadap dinamika perdagangan dunia,” katanya.

Ia menambahkan, kondisi mitra dagang seperti Tiongkok yang terdampak tarif AS juga bisa mengurangi permintaan terhadap komoditas unggulan Sulsel, terutama nikel.

Pemprov Sulsel, kata Jufri, kini tengah berupaya melakukan diversifikasi, mendorong hilirisasi, serta memperkuat sektor kreatif dan pertanian modern.

“Kegiatan Sulsel Talk hari ini menjadi momentum strategis untuk merumuskan langkah konkret memperkuat daya saing ekonomi. Melalui diskusi ini, kita harapkan lahir strategi efektif mendorong pertumbuhan melalui diversifikasi, hilirisasi, dan strategi adaptif menghadapi ketidakpastian global,” ujarnya.

Ia juga memaparkan perkembangan ekonomi Sulsel berdasarkan data BPS, dengan pertumbuhan 4,94 persen (yoy) pada triwulan II 2025, melambat dibanding triwulan I yang mencapai 5,78 persen.

Dari sisi pengeluaran, penurunan konsumsi rumah tangga pasca Ramadan dan Idul Fitri menjadi salah satu penyebab perlambatan.

Sementara itu, inflasi Sulsel Juli 2025 tercatat 0,61 persen (mtm), meningkat dibanding Juni sebesar 0,06 persen. Secara kumulatif, inflasi hingga Juli mencapai 2,46 persen (ytd).

“Mari kita perkuat kolaborasi dan sinergi serta mengedepankan inovasi untuk membangun ekonomi Sulawesi Selatan yang tangguh dan berkelanjutan di tengah ketidakpastian global,” tutup Jufri.

Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Dewan Pengurus Daerah (DPD) Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) Arief R Pabettingi menanggapi pernyataan Jufri ini.

Arief menepis anggapan tersebut. Menurutnya, justru tarif ekspor ke Negeri Paman Sam memiliki pengaruh yang relatif kecil dibandingkan dengan negara tujuan lain.

“Jadi kalau melihat kondisi apa yang diberlakukan oleh Amerika Serikat mereka dengan tarif terhadap Indonesia, kalau kacamata di Sulsel itu tidak terlalu berdampak. Karena ekspor dari Sulawesi Selatan ke Amerika itu masih kecil,” ucap Arief belum lama ini.

Ia menjelaskan, volume pengiriman produk Sulsel ke Amerika Serikat hanya sekitar lima persen dari total ekspor ke berbagai negara.

“Nah tentunya volume yang selama ini berlangsung hanya paling sekitar 5 persen dari total ekspor dari Sulawesi Selatan ya,” jelasnya.

Dengan porsi sekecil itu, Arief menilai meski tarif diberlakukan, tidak akan banyak memengaruhi para pelaku usaha di daerah.

“Nah dengan porsi volume yang kecil tentunya tarif Rp19.000 ini tidak terlalu membuat khawatir para pelaku usaha yang ada di Sulawesi Selatan,” ungkapnya.

Arief menambahkan, Indonesia masih terbilang beruntung lantaran tarif yang dikenakan Amerika Serikat jauh lebih rendah dibandingkan negara lain.

“Kalau kita berbicara Indonesia bisa saja karena Indonesia kan tarif Rp19.000 ini sangat bagus dibanding pada saat tarif yang pertama yang disampaikan Rp34.000, dan kita bersyukur bahwa dari semua negara Asia dan ASEAN kita yang paling terkecil. Nah tentunya ini bisa menjadi sinyal bagi pemerintah Indonesia dan seluruh pelaku usaha yang ada di Indonesia,” katanya.

Meski demikian, menurutnya hambatan ekspor ke AS tidak semata soal tarif. Faktor lain, seperti jarak yang jauh dari Makassar, juga menjadi kendala karena berpengaruh terhadap kualitas produk.

“Karena kalau tarif Rp19.000 itu dijadikan sebagai aturan dasar untuk terjadinya suatu hubungan perdagangan tentu tidak terlalu berdampak. Kenapa? Karena masih banyak hambatan yang kita hadapi di luar dari tarif Rp19.000 ini, terutama kualitas produk, karena contoh Makassar ke Amerika itu kan jaraknya sangat jauh, butuh waktu 35 hari baru sampai bahkan bisa sampai 2 bulan kalau misalnya di jalan itu tidak normal,” bebernya.

Selama ini, Sulsel mengirim sejumlah komoditas ke Amerika Serikat, terutama dari sektor perikanan.

“Beberapa produk pertanian semisal rumput laut tetapi itu tidak terlalu konsisten dikirim terutama untuk sektor yang perikanan itu memang selama ini menjadi dominasi dari sektor semua sektor ekspor dari Sulawesi Selatan ke Amerika,” sebutnya.

Arief menyarankan agar pemerintah mendorong perluasan pasar ekspor dengan membuka tujuan baru selain Amerika Serikat.

“Jadi langkah yang bisa dilakukan adalah salah satunya ya mencari negara baru yang selama ini ada beberapa negara tradisional yang menjadi tujuan utama dari Sulsel, mungkin bisa dialihkan ke Asia. Asia itu kan banyak negara hampir 54 negara, tentunya ada beberapa negara yang mungkin bisa butuh dari Sulsel untuk produk-produknya,” jelasnya.

“Misalnya yang selama ini sudah jalan cengkeh, merica termasuk sektor perikanan itu semua bisa menjadi sesuatu yang bisa dialihkan ke beberapa negara terutama itu tadi Asia Tengah, Asia Timur dan Afrika, bahkan kalau bisa beberapa negara Eropa yang selama ini kalau saya tidak salah,” tambahnya.