Bineka.co.id, Jakarta – Pemerintahan Donald Trump kembali memicu kontroversi dengan kebijakan imigrasi terbarunya. Badan Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE) dilaporkan akan menerapkan aturan baru yang memungkinkan deportasi imigran hanya dengan pemberitahuan enam jam sebelumnya, bahkan ke negara-negara yang bukan merupakan negara asal mereka dan tanpa jaminan keamanan dari negara tujuan.

Dalam memo internal yang dikirimkan kepada staf ICE, Pelaksana Tugas Direktur ICE, Todd Lyons, menyebut bahwa putusan Mahkamah Agung baru-baru ini telah membuka peluang bagi pelaksanaan deportasi ke negara alternatif. Deportasi tersebut bisa dilakukan tanpa perlindungan diplomatik atas risiko penyiksaan atau penganiayaan di negara penerima, demikian dilansir The Washington Post melalui NDTV.

Secara ideal, pemberitahuan kepada imigran dilakukan setidaknya 24 jam sebelum pemulangan. Namun dalam kondisi darurat, ICE diperbolehkan melakukan deportasi hanya dalam waktu enam jam setelah pemberitahuan. Bahkan dalam kasus tertentu, jika negara tujuan memberikan jaminan perlindungan, deportasi dapat dilakukan tanpa pemberitahuan sama sekali.

Kebijakan ini dinilai sebagai perubahan signifikan dari pendekatan sebelumnya yang jarang melakukan deportasi ke negara ketiga. Ribuan migran, termasuk mereka yang berasal dari negara-negara seperti Tiongkok dan Kuba—yang hubungan diplomatiknya dengan AS tidak selalu stabil—berpotensi menjadi korban.

Kekhawatiran meningkat terutama bagi mereka yang telah lama tinggal di AS, memiliki izin kerja, keluarga, dan akar sosial di negara itu. Para pengacara imigrasi menyatakan bahwa kebijakan ini bisa mengirim para imigran ke tempat yang tidak mereka kenal dan rawan bahaya.

“Hal ini menempatkan ribuan nyawa pada risiko penganiayaan dan penyiksaan,” kata Trina Realmuto, Direktur Eksekutif National Immigration Litigation Alliance, yang sebelumnya telah menentang aturan ini melalui jalur hukum.

Simon Sandoval-Moshenberg, penasihat hukum senior dalam kasus imigrasi, menilai ribuan imigran akan terdampak. “Ini adalah kategori orang yang merasa sudah aman,” ujarnya.

Organisasi yang dipimpin Realmuto telah mengajukan gugatan terhadap kebijakan tersebut pada Maret lalu. Mereka menuduh pemerintahan Trump melanggar hukum federal karena mendeportasi migran ke negara yang membahayakan keselamatan mereka. Salah satu kasus yang diajukan mencakup seorang pria asal Guatemala yang dideportasi ke Meksiko, di mana ia kemudian menjadi korban penculikan dan pemerkosaan.

Sebagai tanggapan atas gugatan tersebut, Hakim Distrik AS Brian Murphy mengeluarkan putusan sementara yang melarang deportasi ke negara ketiga tanpa pemberitahuan tertulis minimal 10 hari sebelumnya. Waktu itu diberikan agar para migran memiliki kesempatan yang adil untuk menolak deportasi mereka.