Kementerian Agama adalah satu-satunya kementerian yang pembentukannya dikaitkan dengan pelaksanaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan beragama. Dalam Konperensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura yang diadakan di Surakarta pada tanggal 17 –18 Maret 1946, Menteri Agama Pertama H.M. Rasjidi menjelaskan bahwa, Kementerian Agama didirikan adalah untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Bab XI pasal 29, yang menerangkan bahwa ’Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan ’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’ (ayat 1 dan 2).
Jadi, lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.” Di samping itu, juga sebagai upaya mengakhiri berbagai langkah penjajah Belanda dan Jepang dalam memecah belah umat beragama di Indonesia.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat cita-cita perjuangan kemerdekaan, tujuan membentuk negara serta dasar negara Pancasila. Sistem pendidikan nasional perlu secara konsisten merujuk kepada jiwa dan aksara konstitusi agar tidak mengalami disorientasi. Untuk itu pokok-pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar perlu senantiasa dipedomani sebagai rujukan utama dalam pengelolaan fungsi luhur pendidikan nasional.
Mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai salah satu tujuan bernegara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pada hakikatnya mewajibkan negara untuk membebaskan seluruh lapisan kehidupan bangsa dari kebodohan, mengangkat martabat manusia Indonesia, membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan mewujudkan bangsa yang terdidik serta mengerti hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Pendidikan agama dan keagamaan sejak semula disepakati pembinaannya berada di bawah Kementerian Agama, sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Sejalan dengan spirit proklamasi dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, negara tidak lepas tangan dalam urusan keagamaan, namun tidak pula terlalu campur-tangan. Dalam bidang pendidikan, negara memfasilitasi pendidikan agama dan keagamaan pada jenjang pendidikan formal mulai dari tingkat dasar, menengah sampai perguruan tinggi.
Mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, Prof. A. Hasjmy dalam buku Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional (1979) mengungkapkan fakta sejarah sebagai berikut, “Sebagai penghargaan atas jasa-jasa kota gudeg selaku pusat pemerintahan RI dalam masa perjuangan fisik menentang penjajahan Belanda, ditetapkan Yogyakarta sebagai kota Universitas. Pada waktu itu di Yogyakarta ada dua Universitas Swasta, yaitu Universitas Islam Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Kepada Universitas Gadjah Mada pemerintah menawarkan untuk dinegerikan. Pengasuh Universitas Gadjah Mada menerima baik tawaran tersebut yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1950. Sedangkan tawaran yang sama kepada Universitas Islam Indonesia (UII) dapat diterima dengan syarat harus di bawah Departemen Agama. Akibatnya hanya satu Fakultas saja yang dapat dinegerikan yaitu Fakultas Agama.” tulis Prof. A. Hasjmy yang pernah menjabat Gubernur Daerah Istimewa Aceh tahun 1959 – 1964 dan Rektor Pertama IAIN-UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Institusi pendidikan agama dan keagamaan di bawah pembinaan Kementerian Agama telah memberikan andil dan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa yaitu pembentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) terpelajar yang memadukan wawasan agama dan wawasan nasional. Pembinaan kelembagaan pendidikan agama dan keagamaan negeri memiliki peran penting dalam menjaga keindonesiaan dan kemanusiaan, baik bagi umat Islam maupun umat beragama lain melalui lembaga pendidikan yang dikelola Kementerian Agama.
Pendidikan adalah hak setiap warga negara dan negara wajib memfasilitasinya. Pemerintah berkewajiban memenuhi mandatori anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Kualitas sumber daya manusia yang menguasai ilmu dan teknologi dilandasi iman dan takwa merupakan tujual ideal pendidikan dalam bingkai keilmuwan dan keberagamaan. Integrasi sains dan agama dapat diwujudkan melalui pengembangan pendidikan yang merefleksikan tujuan hidup beribadah dan peran manusia sebagai khalifah Allah di bumi.
Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar pernah mengutip ungkapan cendekiawan muslim Dr. Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa seandainya tidak ada penjajahan, khususnya Belanda, maka mungkin saja lembaga-lembaga pendidikan terkemuka di Indonesia bukanlah UI, ITB, dan lainnya melainkan Universitas Lirboyo, Tebuireng, dan pesantren besar lainnya.
Wacana yang menginginkan agar madrasah dan perguruan tinggi keagamaan satu atap atau one single management di bawah kementerian yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan bukan isu baru, tetapi telah muncul sejak lama. Kementerian Agama menjawabnya secara objektif, dengan alasan mulai dari hak historis, hingga memberi bukti bahwa mutu dan reputasi lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama tidak kalah dari mutu lembaga pendidikan negeri yang lain. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga pendidikan yang dikelola Kementerian Agama terpelihara dari waktu ke waktu.
Lulusan dan output pendidikan madrasah dan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama terbukti mampu meraih keunggulan secara akademik, berkarakter baik, beriman-bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memiliki rasa cinta tanah air.
Pandangan Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Suyitno yang menyampaikan paparan dalam forum finalisasi revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) bersama tim Kemdikdasmen, Kemendiktisaintek dan Badan Keahlian DPR di Jakarta (17/7/2025) patut digarisbawahi dalam proses pembahasan RUU Sisdiknas. Ia menegaskan tradisi pendidikan Islam adalah yang paling tua di Indonesia. Keberadaan Kementerian Agama dan kewenangannya di bidang pendidikan agama bukanlah hasil kebetulan secara administratif semata, melainkan buah dari kompromi besar dalam sejarah bangsa pasca Piagam Jakarta. Menurut Suyitno, negara tidak sedang menciptakan lembaga pendidikan agama, melainkan mengatur dan mengorkestrasi sistem yang sudah hidup lebih dulu, agar tumbuh lebih baih, terarah, dan inklusif dalam sistem pendidikan nasional.
Tinggalkan Balasan