Pembimas Katolik Kemenag Provinsi Banten, penulis buku “Pemikiran Zygmunt Bauman” : Kanisius, Pormadi Simbolon
Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, kita sering kali kehilangan pegangan dalam hidup bersama. Arus digital, pergeseran nilai, dan tekanan ekonomi membuat banyak orang terjebak dalam sikap individualistis, pragmatis, bahkan apatis. Rasa solidaritas memudar, kepercayaan sosial melemah, dan relasi antarmanusia menjadi semakin rapuh. Dalam situasi ini, kita perlu bertanya ulang: bagaimana seharusnya kita hidup di dunia ini?
Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut zaman kita sebagai era modernitas cair (liquid modernity)—masa ketika segalanya berubah cepat dan tak ada yang benar-benar kokoh. Nilai-nilai moral menjadi relatif, komitmen jangka panjang tergantikan oleh pilihan instan, dan relasi sosial cenderung bersifat transaksional. “Dalam masyarakat cair,” tulis Bauman, “tidak ada ikatan yang mengikat selamanya” (Liquid Modernity, 2000).
Fenomena itu sangat terasa juga di Indonesia. Keakraban kampung tergantikan oleh ketakutan akan tetangga. Media sosial yang semula menjanjikan koneksi, justru kerap jadi sumber konflik. Kita hidup bersama secara fisik, namun terpisah secara sosial dan emosional. Polarisasi politik, kekerasan berbasis identitas, hingga penurunan kepedulian terhadap lingkungan—semuanya menjadi gejala cairnya hidup kita bersama.
Namun Bauman tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan jalan keluar melalui tanggung jawab etis terhadap sesama. Dalam bukunya Postmodern Ethics (1993), Bauman menulis bahwa menjadi manusia berarti menyadari keberadaan orang lain dan tidak menutup mata terhadap penderitaan mereka. Ia menyatakan, Being moral means being for the Other, before all declarations, promises, and expectations. Kita bertanggung jawab bukan karena aturan, tetapi karena suara hati.
Pemikiran ini relevan bagi kita sebagai bangsa yang dibangun di atas prinsip gotong royong dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks pendidikan, misalnya, kita perlu membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga peduli dan solider. Dalam kehidupan beragama, spiritualitas kita seharusnya mendorong kita untuk lebih menyapa yang miskin, yang lemah, dan yang terpinggirkan. Dan dalam politik, perbedaan pendapat semestinya tidak menjadi alasan untuk saling merendahkan, tetapi peluang untuk belajar bersama demi kebaikan bersama.
Tanggung Jawab Etis Kemanusiaan
Bauman mengingatkan bahwa dunia ini bukan sekadar ruang konsumsi atau tempat berlindung dari ketakutan, tetapi medan untuk membangun relasi dan makna. “Dunia bukan tempat tinggal yang aman, tetapi tempat untuk bertumbuh dalam ketidakpastian,” tulisnya dalam Community (2001). Oleh karena itu, cara kita hadir di dunia (being in the world) harus ditandai oleh keberanian untuk peduli, melibatkan diri, dan berbagi harapan.
Dalam kehidupan bangsa, setiap individu punya peran membangun peradaban kasih: dari cara kita mendidik anak, memperlakukan tetangga, menyuarakan keadilan, hingga menjaga bumi tempat kita berpijak. Ketika kita memilih untuk hadir secara utuh—bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku hidup bersama—maka di situlah harapan mulai tumbuh. Dunia memang cair, tetapi kita bisa menjadi jangkar moral bagi sesama.
Maka yang dibutuhkan sekarang adalah: tidak kehilangan kemanusiaan di tengah derasnya perubahan, dan untuk tetap bertanggung jawab atas satu sama lain, meski dunia ini tak lagi menjanjikan kepastian. Karena hanya dengan itulah, kita bisa merawat hidup bersama yang lebih baik.
Tinggalkan Balasan