Dalam sejarah panjang peradaban manusia, hukum bukanlah anak kandung negara sebagaimana kaum positivis meyakininya. Hukum itu lahir dari percakapan, dari konflik, dari ketakutan dan harapan kolektif, bahkan dari ketidaksepakatan yang dipertemukan dalam ruang sosial.

Fernanda Pirie, seorang antropolog hukum, menulis bahwa hukum telah “mengatur dunia” selama lebih dari 4.000 tahun. Dia mengatur bukan dengan satu wajah tunggal tetapi dalam berbagai bentuk, mulai dari hukum raja, hukum kitab suci, hukum kolonial, hingga hukum komunitas lokal (atau hukum adat). Oleh sebab itu hukum, kata Pirie, adalah rule of laws bukan rule of law. Hukum adalah sebuah dunia alam pikir yang majemuk dan berlapis.

Gagasan ini sejalan dengan kerangka berpikir yang selama ini penulis sebut sebagai Hukum Adaptif, yakni hukum yang tidak semata-mata dibangun oleh institusi dan berupa teks tetapi dibangun dari kemampuan masyarakat dalam merespons perubahan.

Hukum bukanlah sebuah prasasti yang kaku. Hukum itu organisme hidup yang harus terus menerus beradaptasi atau mati ditinggal zaman.

Dalam khazanah pemikiran Islam pemikiran tadi dikenal melalui kaidah fikih “Taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal wa al-Niyyat wa al-Awaid” bahwa hukum dapat berubah karena perubahan zaman, tempat, kondisi sosial, motivasi dan adat istiadat (tradisi). Kaidah yang menegaskan bahwa hukum tidak bersifat statis melainkan harus mampu merespons dinamika masyarakat serta kondisi sosial yang senantiasa bergeser.

Kini kita berada di titik kritis sejarah. Bukan karena revolusi politik, bukan pula karena pergolakan sosial, melainkan karena kecepatan dan kecanggihan revolusi teknologi, terutama ditandai dengan munculnya artificial intelligence atau kecerdasan buatan (AI). Pertanyaannya, apakah hukum masih mampu beradaptasi dengan kondisi sosial yang semakin kompleks ini?

Hukum dan Teknologi

Contoh paling konkret adalah bagaimana regulasi hukum di Indonesia tertinggal jauh dari perkembangan AI dan kejahatan yang dilakukan oleh penggunanya. Ambil contoh kasus deepfake. Secara teknis saat ini membuat video palsu yang menyerupai wajah orang lain, tokoh publik, bahkan pejabat negara kini semudah menekan tombol lift. Namun hingga tulisan ini dibuat, belum ada satu pun pasal yang secara spesifik mengatur penggunaan atau penyalahgunaan teknologi semacam itu. Pasal-pasal di UU ITE terlalu kabur dan aparat hukum pun kebingungan membedakan antara kreativitas digital dan pelanggaran etika publik.

Lalu dalam konteks pekerjaan hukum, kita lihat semakin banyak firma hukum baik di Indonesia maupun di luar negeri yang sudah menggunakan sistem AI. Contohnya seperti Firma Hukum Allen & Overy di Inggris yang menggunakan aplikasi AI bernama Harvey untuk melakukan analisis dokumen hukum. Di satu sisi AI bernama Harvey tersebut efisien karena mampu secara tepat menganalisis sebuah dokumen hukum. Tetapi di sisi lain yang muncul dilema, apakah keadilan yang sebelumnya hendak diwujudkan melalui hukum itu kemudian bisa diberikan pula oleh mesin?

Dalam bidang penegakan hukum, Mahkamah Agung mulai memperkenalkan penggunaan AI untuk menentukan komposisi majelis hakim. Tujuannya baik, yakni untuk mengurangi intervensi dan memastikan objektivitas penanganan perkara. Namun, inovasi ini juga membuka pertanyaan penting perihal sejauh mana algoritma bisa menjamin keadilan? Apakah AI mampu mempertimbangkan kompleksitas kasus, sensitivitas sosial, atau riwayat hidup masing-masing majelis yang tak tercatat dalam sistem? Tanpa prinsip transparansi dan akuntabilitas, AI dalam sistem peradilan tersebut bisa berubah dari alat bantu mencapai keadilan menjadi alat pembeku nalar keadilan.

Hal serupa juga terjadi dalam proses penyidikan. Penggunaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) kini makin sering dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam banyak kasus yang mengundang perhatian publik, termasuk perkara besar yang menyangkut pejabat publik, hasil lie detector sering dijadikan rujukan untuk membentuk opini publik. Tak jarang juga bahkan turut memengaruhi keputusan penyidik.

Padahal, secara ilmiah, validitas dari hasil lie detector masih dipertanyakan. Lie detector tidak bisa secara tepat mengukur kebohongan. Lie detector hanya menilai kebohongan dari cara seseorang menjawab pertanyaan kemudian dikaitkan dengan reaksi fisiologis yang itu bisa dipicu banyak hal seperti gugup, trauma, bahkan rasa takut terhadap situasi tekanan. Jika hukum menyerahkan kebenaran pada alat yang tidak pasti maka kita sedang meninggalkan prinsip kehati-hatian dan presisi yang seharusnya menjadi fondasi utama dari hukum pidana.

Pada titik inilah sesungguhnya konsep Hukum Adaptif diperlukan. Hukum yang tidak hanya berupaya akurat secara teknis tetapi juga peka terhadap ekosistem sosial di mana ia diterapkan. Hukim tidak boleh sepenuhnya dilepaskan dari realitas sosial masyarakat.

Pluralisme Hukum Vs Otoritas Digital

Selanjutnya Fernanda Pirie sangat menekankan bahwa hukum itu tidak pernah bisa tunggal. Di banyak wilayah dunia, hukum negara hidup berdampingan bahkan bertabrakan dengan hukum adat dan hukum agama. Di Indonesia, kita mengenal istilah “hukum adat”, “hukum agama” dan bahkan “peradilan adat”. Perdebatan mengenai mana yang didahulukan antara ketiga hukum itu pun masih berlanjut sampai hari ini.

Sekarang, pembahasan akan plurasime hukum itu bertambah dengan masuknya AI yang perlahan mulai mencoba mengambil alih ruang peradilan. Sistem e-court Mahkamah Agung adalah langkah awal. Langkah awal yang kelak kita bisa membayangkan nanti soal benar dan salah itu mungkin saja akan ditentukan melalui algoritma dengan bantuan putusan terdahulu (preseden atau yurisprudensi).

Masalahnya, algoritma tidak mengenal adat maupun agama. Ia hanya mengenal pola. Apakah sistem digital mampu memahami bahwa cara menyelesaikan sengketa tanah di Papua itu tidak bisa disamakan dengan kasus tanah di Depok? Bahwa konflik warisan dalam keluarga masyarakat di Aceh tidak bisa diseragamkan dengan logika Hukum Perdata Barat?

Jika kita menyerahkan masa depan hukum kepada AI tanpa adanya pemahaman akan dimensi sosial-budaya maka kita bukan sedang membangun sistem keadilan. Kita justru sedang membangun versi baru dari kolonialisme digital berupa hukum tunggal yang menindas keragaman dengan dalih kepastian hukum.

Etika Adaptif dan Masa Depan Tak Netral

AI bagaimanapun bentuk dan jenisnya dibangun dengan data. Dan data sebagaimana kita tahu bukanlah entitas netral. Data membawa bias, sejarah, bahkan ketimpangan. Pirie dalam banyak tulisannya menunjukkan bahwa hukum selalu lahir dalam konteks kekuasaan. Konteks siapa yang menulis, siapa yang mengesahkan, dan disahkan untuk kepentingan siapa. AI pun demikian. Jika kita tidak hati-hati maka data hukum yang dimasukkan ke dalam sistem AI justru akan memperpanjang bias sistemik yang sudah ada.

Maka masa depan hukum tidak cukup hanya smart secara teknologi. Hukum tetap harus adaptif secara sosial. Di sinilah hukum adaptif itu bekerja, bekerja bukan sebagai konsep pendukung law in books tetapi sebagai konsep yang menghidupkan law in motion. Hukum yang bergerak seiring perubahan masyarakat tanpa kehilangan prinsip keadilan dan etika.

Penulis percaya, sebagaimana dikatakan Pirie, bahwa hukum adalah sebuah proyek sosial terbesar dari umat manusia (a quest to order the world.) Tapi dunia dimana hukum tinggal itu tidak akan pernah stabil. Dunia senantiasa berubah. Teknologi berubah. Kekuasaan pun berganti rupa.

Maka mengahadapi perubahan itu hukum tidak boleh dibiarkan menjadi teks yang kaku apalagi diserahkan pada kecerdasan buatan. Hukum harus terus dibentuk melalui ruang dialog antara harapan manusia dan kecanggihan mesin, antara ketidakpastian zaman dan keinginan untuk terus menciptakan keadilan.
Jika tidak maka hukum dapat kehilangan makna dan fungsinya. Dan kita akan hidup dalam dunia di mana soal benar dan salah, baik dan buruk, akan diputuskan oleh mesin yang tidak pernah betul-betul tahu siapa kita (baca: manusia). Dan itu, bagi penulis, adalah awal dari kegagalan hukum yang sesungguhnya.