Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Radea Juli A. Hambali

Dalam acara pengukuhan guru profesional bagi mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG), yang diikuti oleh 1.496 peserta, bertempat di Aula Gedung PPG Kampus 2, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Amien Suyitno, M.Ag., dalam sambutannya menyampaikan hal yang sangat penting, bahwa menurutnya “guru bukan sekadar penyampai pengetahuan, melainkan pembangun peradaban”.

Senyatanya, pernyataan itu seperti mengembalikan ingatan kita pada hakikat luhur pendidik yang dalam tradisi Islam disebut sebagai “murabbi” daripada sekadar “mu’allim”. Dalam sosok murabbi, cahaya pengetahuan tidak hanya berpusat pada buku, tetapi dari kebijaksanaan yang memancar dari laku hidupnya, dari kasih sayang yang memanusiakan, dari keadilan yang menumbuhkan martabat, dan dari ketulusan cinta yang tidak menuntut balas.

Nilai-nilai Ruhaniah

Ketika dunia pendidikan sering terfokus pada angka dan nilai, pada silabus dan ujian, pada akreditasi dan sertifikasi, pernyataan Dirjen Pendidikan Islam itu seolah membawa nafas baru. Guru, dalam pandangan itu adalah pelita, bukan lentera yang hanya menerangi tempat kaki berpijak, tetapi cahaya berjalan yang mampu menuntun langkah dan menerangi ruang-ruang gelap.

Maka dalam konteks ini, pendidikan Islam harus bersandar pada nilai-nilai ruhaniah: kasih sayang sebagai dasar relasi, keadilan sebagai fondasi sistem, dan cinta sebagai poros utama proses belajar mengajar. In optima forma!

Dalam kerangka pendidikan Islam, gagasan ini sebenarnya bukanlah gagasan asing, ia adalah panggilan pulang. Pendidikan yang lahir dari rahim wahyu selalu bertumpu pada relasi yang hidup, bukan pada hafalan beku. Kasih sayang menjadi ruh yang merawat keberadaan, keadilan menjadi napas yang menjaga keseimbangan, dan cinta menjadi aliran darah yang membuat ilmu tak hanya tumbuh, tetapi menghidupkan. Tanpa ketiganya, pendidikan akan berubah menjadi sekadar rutinitas teknis, sarat isi, tapi kosong makna.

Daya Spiritual dan Moral

​​​​​​​Barangkali, di titik inilah Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang juga disampaikan Prof. Amien Suyitno menemukan relevansinya. Sebuah pendekatan pendidikan yang tidak hanya mengajarkan apa yang diketahui, tetapi mengapa sesuatu harus diketahui, dan untuk siapa pengetahuan itu dipergunakan. Cinta, dalam konteks ini, bukanlah romantisisme sentimental, melainkan daya spiritual dan moral yang menolak kekerasan struktural dalam pendidikan. Dalam Kurikulum Berbasis Cinta, relasi guru dan murid tidak seperti mesin dan operatornya, tapi seperti pohon dan tanah: saling menghidupi.

“Education is an act of love, and thus an act of courage,” begitu kata Paulo Freire. Cinta menuntut keberanian untuk mengubah struktur yang tidak adil, untuk menolak kekerasan simbolik, dan untuk memanusiakan kembali pendidikan yang telah membuat manusia teralienasi dari dirinya sendiri.

Namun begitu, Kurikulum Berbasis Cinta bukan tanpa kritik. Kritik yang patut diajukan adalah bahwa dalam praksisnya, cinta terlalu mudah dilisankan tapi sulit diwujudkan dalam sistem. Ia bisa menjadi jargon manis di forum-forum akademik namun bisa gagal diterjemahkan ke dalam kebijakan yang konkret.

Pendidikan yang mengusung cinta tapi tetap menindas dengan beban administratif, standar tak realistis, dan relasi hirarkis antara guru dan murid, pada akhirnya akan menyebabkan paradoks.

Struktur yang Mendukung

​​​​​​​Lebih jauh, cinta yang dilepaskan dari keadilan akan mudah terjebak dalam sentimentalisme. Dan cinta yang tidak dilandasi kebijaksanaan bisa tergelincir menjadi permisivisme. Maka kurikulum ini hanya akan bermakna bila dipadukan dengan struktur yang mendukung: pelatihan guru yang manusiawi, pengurangan beban administratif, sistem evaluasi yang holistik, dan lingkungan belajar yang aman secara psikologis.

Di tengah arus zaman yang mengedepankan kecepatan dan hasil yang instan, Kurikulum Berbasis Cinta, sejatinya adalah upaya untuk mengembalikan hakikat pendidikan sebagai proses “menyentuh jiwa”, bukan sekadar “menyuapi otak”. Bahwa membangun peradaban bukan soal seberapa banyak yang kita tahu, tapi bagaimana kita memperlakukan satu sama lain dalam proses belajar itu sendiri.

“Did you know that the soul only awakens by love?” Begitu kata Rumi. Maka, mungkin sudah saatnya kita bertanya, apakah yang kita bangun di ruang-ruang kelas selama ini adalah pengetahuan, atau justru kekosongan yang dibungkus rutinitas? Allahu a’lam.