Bineka.co.id, Sumbawa Besar – Di sebuah pasar malam yang ramai di Desa Labuhan Ijuk, Kecamatan Moyo Hilir, Sumbawa, musik dangdut menggema di antara deretan lampu warna-warni dan tenda pedagang. Di antara kerumunan itu, seorang pria berdiri agak terpaku. Namanya Sallehudin. Orang memanggilnya Salleh.
Ia bukan warga lokal. Dialeknya berbeda. Wajahnya sedikit gelisah. Dan malam itu, nasib membawanya bertemu dengan tim patroli pengawasan Kantor Imigrasi Kelas II TPI Sumbawa Besar.
Bagi petugas yang terbiasa menegakkan aturan, menangkap Warga Negara Asing (WNA) tanpa dokumen resmi adalah tugas rutin. Tapi malam itu berbeda. Kisah di balik kehadiran Salleh menyentuh sisi lain dari pekerjaan yang biasanya tegas dan formal: sisi kemanusiaan.
Bukan yang Pertama, Tapi Paling Menggetarkan
Menurut Kepala Kantor Imigrasi Sumbawa Besar, Tedy Anugraha, ini bukan kali pertama Salleh terjaring razia karena persoalan imigrasi. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini.
“Jadi waktu itu awalnya karena cinta buta,” ujar Tedy, mengenang pertemuan dengan Salleh beberapa hari lalu.
Salleh bukan sekadar pelanggar. Ia seorang ayah. Mantan suami dari perempuan asal Sumbawa yang telah memberinya seorang anak. Rumah tangga mereka kandas, dan anak itu kini tinggal bersama ibunya di Sumbawa. Salleh, yang menetap di Malaysia, tak lagi bisa dengan mudah bertemu sang buah hati.
Kerinduan yang menumpuk, rupanya, lebih kuat dari logika dan aturan. Salleh menempuh jalan sunyi: masuk ke Indonesia tanpa paspor, tanpa dokumen, hanya dengan satu tujuan—bertemu anaknya.
“Salleh itu dia ingin ketemu anaknya. Saya enggak tahu jalurnya masuk ke Indonesia. Saya enggak tahu jalurnya jalur apa, tetapi yang melaporkan dia ada di Sumbawa adalah mantan istrinya,” jelas Tedy.
Tidak ada yang tahu pasti bagaimana ia menyeberang. Dugaan petugas, ia masuk lewat jalur tak resmi. “Entah dari mana dia (Salleh) masuk ke Indonesia. Mungkin dia bisa masuk dari Bali atau dari mana, tapi enggak ada paspor,” tambahnya.
Ketika diperiksa, Salleh sempat berkata lirih: “Pak, saya kemari untuk melihat anak.”
Kalimat itu menghentak. Sejenak, ruang pemeriksaan menjadi sunyi. Tak ada yang berkata-kata. Bahkan petugas yang paling senior pun tertunduk.
“Jadi kami yang sedih,” kata Tedy, pelan.
Aturan Tetap Ditegakkan, Tapi Hati Tak Bisa Bohong
Meski empati tumbuh, hukum tetap ditegakkan. Salleh kini menjalani masa penahanan di ruang detensi Kantor Imigrasi Sumbawa Besar. Ia akan dideportasi ke Malaysia setelah proses administratif rampung.
Ruang detensi bukan tempat nyaman. Tapi bagi Salleh, itu mungkin lebih baik daripada duduk jauh di Malaysia sambil membayangkan wajah anak yang dirindukan. Ia tahu tindakannya salah, tapi tidak semua kesalahan datang dari niat buruk.
“Cerita Salleh ini membuat kami, para petugas, merenung juga. Bahwa di balik setiap pelanggaran, bisa jadi ada alasan yang tak kita duga,” ujar salah satu petugas yang terlibat dalam razia malam itu.
Menjadi Ayah dalam Diam
Salleh tidak meminta keringanan. Ia tahu apa yang ia lakukan salah. Tapi sebagai ayah, ia ingin hadir meskipun hanya sebentar, meskipun hanya dari kejauhan.
Sumbawa mungkin hanya sepotong pulau bagi banyak orang, tapi bagi Salleh, pulau ini adalah tempat di mana hatinya tertinggal—di mana anaknya tinggal, dan di mana rindu akhirnya membawanya kembali, walau dengan cara yang tak resmi.
Kisah ini bukan tentang seorang WNA yang melanggar aturan, tetapi tentang seorang ayah yang diperbudak rindu. Sebuah kisah yang menjadi pengingat bahwa di balik ketegasan birokrasi, ada ruang kecil untuk kemanusiaan.
Tinggalkan Balasan