Bineka.co.id, Jakarta – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menyampaikan capaian penting terkait peran aktif Indonesia dalam forum International Civil Aviation Organization (ICAO), khususnya pada agenda pengurangan emisi melalui pemanfaatan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Indonesia mengajukan perhitungan nilai default LCA (Core LCA Default Value) untuk SAF berbahan baku Palm Oil Mill Effluent (POME) guna mendukung program global penurunan emisi sektor penerbangan lewat avtur ramah lingkungan.

Penggunaan SAF menjadi salah satu fokus utama ICAO dalam upaya mengurangi emisi CO₂ penerbangan internasional melalui skema Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA). Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Lukman F Laisa, menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen menjadi salah satu produsen utama SAF mengingat ketersediaan bahan baku yang melimpah. “Indonesia sebagai negara anggota ICAO berkomitmen untuk menjadi salah satu produsen utama SAF mengingat besarnya potensi bahan baku (feedstock) yang kita miliki oleh karena itu kita mengusulkan perhitungan nilai default LCA,” ujar Lukman.

Dalam proses pengajuan nilai default LCA tersebut, Ditjen Perhubungan Udara berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan menggandeng dua mitra teknis, yakni IPOSS sebagai organisasi nirlaba yang mempromosikan keberlanjutan kelapa sawit Indonesia, serta PT Tripatra yang bergerak di bidang rekayasa dan energi.

POME merupakan residu dari produksi Crude Palm Oil (CPO) dan tercantum sebagai residue pada positive list ICAO, sehingga memiliki potensi besar untuk menghasilkan SAF dengan penurunan emisi yang kompetitif dibandingkan bahan baku alternatif lainnya. “Pada Januari Tahun 2025, Kemenhub dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, melalui Indonesia CAEP Member selaku wakil Indonesia pada ICAO-CAEP, telah mengajukan perhitungan nilai LCA Default Value untuk SAF berbahan baku POME,” ujar Lukman.

Hasil pembahasan selama hampir satu tahun membuahkan hasil positif. Setelah melalui penilaian teknis di Komite Perlindungan Lingkungan Penerbangan (CAEP), ICAO Council pada akhir November 2025 resmi menyetujui dan menerbitkan nilai default LCA untuk SAF berbasis POME, yakni sebesar 18,1 gram CO₂/MJ. Nilai tersebut tercantum dalam dokumen “CORSIA Default Life Cycle Emissions Values for CORSIA Eligible Fuels” pada kategori HEFA Conversion Process.

Lukman menjelaskan bahwa persetujuan tersebut menjadi tonggak penting bagi percepatan produksi SAF nasional. Ia menegaskan, “Persetujuan ICAO ini menegaskan bahwa POME secara resmi diakui sebagai bahan baku SAF dengan nilai emisi yang sangat kompetitif, mampu memberikan emission saving hingga 80% dibandingkan bahan bakar fosil. Ini adalah momentum besar bagi Indonesia untuk memasuki pasar SAF global.”

Tahapan verifikasi berlangsung komprehensif, mulai dari perbandingan perhitungan dengan International Independent Expert dari University of Hasselt, Belgia, hingga proses verifikasi oleh Joint Research Centre – European Commission. Seluruh rangkaian tersebut dipresentasikan dan memperoleh persetujuan bertahap di CAEP sebelum disahkan oleh ICAO Council.

Menurut Lukman, pencapaian ini merupakan hasil kolaborasi erat lintas institusi. “Kami berterima kasih atas dukungan Kementerian Luar Negeri serta kontribusi teknis dari IPOSS dan PT Tripatra. Upaya lintas institusi ini menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam memperjuangkan posisi nasional di forum internasional,” jelasnya.

Meski demikian, ia menekankan masih banyak tahapan lanjutan yang perlu dioptimalkan, terutama menjamin ketersediaan POME yang mencukupi dan memiliki traceability yang baik. Kualitas rantai pasok menjadi kunci agar industri SAF dalam negeri dapat tumbuh secara berkelanjutan dan memperoleh nilai tambah maksimal.

Ia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk ikut memperkuat ekosistem ini. “Kami mengharapkan dukungan berkelanjutan dari pemerintah pusat dan daerah, BUMN, pelaku industri, asosiasi, swasta nasional, serta sektor penerbangan. Kolaborasi diperlukan dalam bentuk kebijakan, regulasi, insentif, investasi, hingga penyediaan fasilitas pendukung. Dengan langkah bersama, Indonesia memiliki peluang besar menjadi produsen SAF yang kompetitif di kawasan,” tegasnya.

Kementerian Perhubungan melalui Ditjen Perhubungan Udara menyatakan akan terus menyuarakan kepentingan Indonesia dalam forum penerbangan internasional serta mendorong pengembangan SAF nasional sebagai bagian dari transformasi keberlanjutan sektor transportasi udara.