Bineka.co.id, Makassar – Sulawesi Selatan mengalami perlambatan ekonomi pada kuartal II 2025 akibat penurunan ekspor nikel. Komoditas ini selama ini menjadi penyumbang utama kinerja ekspor daerah, sehingga penurunannya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, Rizki Ernadi Wimanda, menyampaikan bahwa melemahnya ekspor nikel menjadi faktor utama perlambatan ekonomi daerah.
“Hal itu terlihat dari melambatnya ekonomi daerah pada kuartal II 2025 yang dipicu oleh penurunan ekspor komoditas nikel yang menjadi tulang punggung ekspor Sulsel,” kata Rizki di Makassar, Rabu (20/8/2025).
Menurut Rizki, penurunan ekspor nikel dipicu tingginya biaya pengiriman, sementara permintaan global menurun akibat melimpahnya pasokan di pasar internasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) Sulsel mencatat nilai ekspor pada kuartal I 2025 turun tajam 25,21 persen, dari 499,12 juta dolar AS menjadi 373,29 juta dolar AS dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Dari angka tersebut, nikel masih mendominasi dengan kontribusi 203,99 juta dolar AS, meski nilainya turun 11,28 persen. Dengan porsi 54,65 persen, nikel tetap menjadi komoditas ekspor utama Sulsel.
Rizki menilai, jika pelemahan ekspor tidak segera diantisipasi, pertumbuhan ekonomi Sulsel berpotensi semakin tertekan. BI Sulsel mendorong diversifikasi ekonomi sebagai langkah strategis.
“Langkah seperti penguatan infrastruktur pengolahan, insentif investasi dan pengembangan komoditas non nikel diperlukan agar ekonomi Sulsel lebih resilien atau mampu bertahan,” ujarnya.
Dari sisi akademisi, Pengamat Ekonomi Unismuh Makassar, Abdul Muthalib, menilai kondisi ini dipengaruhi ketidakpastian global dan faktor domestik.
“Perlambatan ini dipicu oleh sentimen kehati-hatian pelaku usaha, suku bunga tinggi, dan ketidakpastian ekonomi global,” jelasnya.
Ia menambahkan, penurunan harga rata-rata komoditas utama Indonesia turut memukul ekspor, apalagi permintaan dari mitra dagang besar seperti Tiongkok dan India juga melambat, terutama terhadap energi dan logam.
“Padahal, sektor ini sebelumnya menjadi penopang pertumbuhan berkat harga batu bara dan nikel yang tinggi,” ungkapnya.
Abdul Muthalib menekankan, kontraksi sektor pertambangan berdampak luas, mulai dari nilai ekspor, penerimaan pajak, hingga investasi lanjutan di sektor energi dan logam.
“Penurunan pada sektor ini turut menurunkan nilai ekspor, penerimaan pajak, serta investasi lanjutan di sektor energi dan logam,” katanya.
Ia memperingatkan, kondisi ini berpotensi membahayakan perekonomian nasional. “Ke depan, pemulihan ekonomi akan sangat bergantung pada penguatan permintaan domestik dan membaiknya pasar ekspor komoditas,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan