Bineka.co.id, Makassar – Di bawah langit Makassar yang tenang malam itu, Vihara Ibu Agung Bahari tampak bersinar tak hanya oleh lampu dan dupa, tetapi juga oleh kehangatan toleransi. Suasana perayaan Hari Raya Waisak 2569 BE/2025 M di Jalan Sulawesi No. 41, Senin (12/5), berubah menjadi pelataran keheningan yang dalam, namun penuh gema semangat keberagaman.
Umat Buddha dari berbagai daerah di Sulsel berkumpul, mengenakan pakaian putih dan batik, membawa semangat dan niat baik. Tapi tak hanya mereka. Tokoh lintas agama, pejabat pemerintah, hingga pemuda-pemudi dari komunitas non-Buddha juga turut hadir. Sebuah wajah Sulawesi Selatan yang sejak lama dikenal sebagai rumah bagi semua umat—kembali ditampilkan dengan utuh.
Tampak masyarakat dari berbagai kalangan saling bertegur sapa dan menyantap makan malam berupa ketupat, opor ayam hingga bakso. Acara juga dilanjutkan dengan pembacaan doa-doa yang diikuti oleh para ummat buddha. Agama lain menyesuaikan.
Di tengah keramaian yang khidmat, Yonggris, Ketua Permabudhi Sulsel, menyampaikan sepatah dua patah kata. Perayaan kali ini bukan hanya soal spiritualitas tetapi kebersamaan dan perdamaian.
“Perayaan ini bukan hanya perayaan Waisak, tapi juga sudah banyak kegiatan sosial yang telah kita lakukan,” ucapnya, menyiratkan bahwa spiritualitas bukan hanya soal sembahyang, tapi juga tangan yang digerakkan untuk membantu sesama.
Yonggris menjelaskan, Waisak adalah puncak dari tiga peristiwa besar dalam hidup Siddhartha Gautama: kelahiran di Taman Lumbini, pencerahan di bawah Pohon Bodhi, dan parinibbana di Kusinara.
“Perjalanan hidup sang Buddha adalah teladan universal bukan hanya untuk umat Buddha. Ia mengajarkan welas asih, kebijaksanaan, dan ketekunan dalam mencari kebenaran.” tuturnya

Sambutan hangat juga datang dari Kepala Dinas Kominfo Sulsel, Andi Winarno Eka Putra, yang mewakili Gubernur Andi Sudirman Sulaiman. Ia menyampaikan permohonan maaf gubernur yang tengah menjalani kunjungan kerja, seraya membacakan pesan selamat atas nama Pemprov kepada seluruh umat Buddha. “Diharapkan momentum ini dapat meningkatkan kesucian hati dan pikiran demi terciptanya kerukunan serta kedamaian bersama,” ujarnya.
Ia juga menekankan, peran umat Buddha tak hanya penting dalam konteks spiritual, tapi juga dalam membangun karakter bangsa. “Kegiatan seperti ini memberi makna dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang berperadaban luhur berbasis hati nurani.”
Dari parlemen, Ketua DPRD Sulsel, Andi Rachmatika Dewi atau akrab disapa Cicu, turut memberikan pandangan yang menyentuh. Ia menyampaikan selamat Hari Raya Waisak dan menekankan pentingnya menjaga kerukunan sebagai fondasi pembangunan. “Saya percaya kerukunan antarumat beragama adalah syarat utama stabilitas ekonomi dan sosial,” tuturnya.
Tak hanya bicara soal stabilitas, Cicu juga menyoroti masa depan generasi muda. Ia menitipkan pesan kepada tokoh-tokoh agama untuk membimbing anak-anak tak hanya cerdas intelektual, tapi juga kuat secara spiritual. “Peran tokoh agama menjadi sentral dalam membangun bangsa, terutama menuju generasi emas 2045.” tegasnya.
Sementara itu, Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menyampaikan ajakan penuh makna: menjadikan Waisak sebagai sumber inspirasi untuk menjaga harmoni di tengah keberagaman kota.
“Waisak ini bukan hanya milik umat Buddha. Ia milik kita semua, karena semangatnya adalah toleransi dan kedamaian,” katanya dalam nada yang tenang namun tegas.
Appi, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa setiap proses pembangunan di Makassar tak bisa dilepaskan dari peran tokoh agama dan masyarakat. “Kami butuh kolaborasi dan saran dari semua pihak untuk mewujudkan Makassar yang adaptif, damai, dan sejahtera.”
Tak lupa ia memberikan apresiasi atas semangat lintas agama yang terlibat dalam seluruh rangkaian Waisak tahun ini. “Saya berharap semoga Hari Raya Waisak ini bukan sekadar seremoni, tapi momentum untuk menyebarkan semangat damai dalam kata, sikap, dan tindakan nyata.”
Hadir dalam perayaan ini perwakilan Polda Sulsel, Kejati Sulsel, Pangdam Hasanuddin, Ketua TP PKK Makassar Melinda Aksa, Kanwil Agama, NU, Muhammadiyah, KNPI, hingga jajaran Pemprov Sulsel dan tokoh lintas agama lainnya. Semua berdiri dalam satu baris—bukan karena keyakinan mereka sama, tapi karena harapan mereka satu: damai di bumi Sulawesi Selatan.
Tinggalkan Balasan