Dalam obrolan santai di ruang kerja saya di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, seorang mahasiswa pascasarjana bertanya dengan nada skeptis, “Prof, apakah Indonesia sudah cukup dewasa untuk memisahkan urusan agama dari kepentingan politik praktis?” Pertanyaan itu muncul setelah kami berdiskusi tentang fenomena polarisasi yang masih menyisakan luka di tubuh bangsa, terutama pascadinamika politik nasional beberapa waktu terakhir.
Merespons pertanyaan tersebut, saya langsung teringat dengan Asta Protas atau delapan program prioritas Kementerian Agama periode 2024-2029, yang baru saja dicanangkan. Bukan sekadar karena program ini ambisius, tapi karena ia menjadi ujian sesungguhnya, apakah negara mampu mengelola keragaman agama sebagai kekuatan pemersatu, bukan sumber perpecahan. Hal ini sejalan dengan konstitusi kita yang mengamanatkan jaminan kebebasan beragama dan kewajiban negara dalam mengatur kehidupan beragama secara damai.
Di titik ini tampaknya relevan dengan gagasan John Locke (1689) dalam Letter Concerning Toleration, di mana Locke menyatakan bahwa perbedaan agama tidak seharusnya menjadi alasan untuk mencabut hak-hak sipil atau menciptakan perpecahan dalam masyarakat. Gagasan ini menemukan momentumnya dalam konteks Asta Protas Kementerian Agama sebagai ikhtiar melembagakan toleransi dan rekonsiliasi di tengah kompleksitas keberagaman Indonesia.
Tiga Dimensi
Sebagai akademisi yang telah puluhan tahun mengkaji dinamika ketatanegaraan dan politik keagamaan di Indonesia, saya melihat Asta Protas Kementerian Agama sebagai ekosistem kebijakan yang dapat dipetakan dalam tiga dimensi strategis. Pertama, rekonsiliasi sosial-spiritual. Dua pilar utama dari dimensi ini adalah meningkatkan kerukunan dan cinta kemanusiaan serta penguatan ekoteologi.
Kedua pilar ini merupakan respons cerdas terhadap dua krisis yang sedang kita hadapi. Krisis pertama adalah rapuhnya kohesi sosial akibat politik identitas yang masih menyisakan trauma. Sedangkan krisis lainnya adalah degradasi lingkungan yang membutuhkan pendekatan holistik, tidak hanya saintifik, tapi juga spiritual.
Dalam kerangka ini, pemikiran Imam al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din patut direnungkan. Al-Ghazali berulang kali menegaskan bahwa agama sejati harus melahirkan kedamaian, kasih sayang, dan keharmonisan sosial. Agama, dalam pandangan beliau, bukan instrumen pemecah belah, melainkan rahmat bagi seluruh makhluk. Semangat ini jelas tercermin dalam program kerukunan dan cinta kemanusiaan yang diusung Asta Protas.
Upaya ini juga merupakan implementasi nyata dari amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 22, yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta kewajiban negara mencegah diskriminasi atas dasar agama. Sementara ekoteologi, konsep yang relatif baru dalam diskursus keagamaan kita, menunjukkan bahwa Kementerian Agama memahami bahwa krisis iklim bukan hanya urusan Kementerian Lingkungan Hidup atau aktivis lingkungan hidup, tapi juga tanggung jawab moral-teologis seluruh umat beragama. Dalam konteks ini, relevan mengingat Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), di mana aspek lingkungan dan peran komunitas keagamaan menjadi bagian penting.
Kedua, pemberdayaan berbasis akar rumput. Tiga pilar untuk dimensi kedua ini adalah pendidikan unggul, ramah, dan terintegrasi; pemberdayaan pesantren; serta pemberdayaan ekonomi umat. Hal ini mencerminkan pemahaman yang mendalam bahwa kekuatan sejati bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusianya.
Program pendidikan yang ramah adalah antitesis dari fenomena bullying dan kekerasan yang masih mewarnai lembaga-lembaga pendidikan kita, termasuk Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan. Konsep ini mengandaikan bahwa sekolah dan madrasah bukan hanya tempat transfer pengetahuan, tapi juga laboratorium pembentukan karakter yang inklusif. Tentu saja, upaya ini sejalan dengan mandat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan pentingnya pendidikan yang humanis dan berkeadilan.
Pemberdayaan pesantren, di sisi lain, adalah pengakuan terhadap peran historis lembaga pendidikan tertua di Nusantara ini. Pesantren juga bukan sekadar produsen kader-kader ulama, tapi juga telah teruji mampu melahirkan para pemimpin bangsa dari pelbagai bidang. Sedangkan pemberdayaan ekonomi umat melalui optimalisasi instrumen seperti zakat, infak, dan wakaf menunjukkan bahwa aspek spiritual dan material tidak perlu dipertentangkan, sebagaimana tergambar dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Ketiga, modernisasi tata kelola. Tiga pilar terakhir, yakni sukses haji, layanan keagamaan berdampak, dan digitalisasi tata kelola merupakan wajah publik dari reformasi birokrasi Kementerian Agama. Program haji yang sukses bukan lagi sekadar soal memberangkatkan dan memulangkan jemaah dengan selamat, tapi juga tentang bagaimana Indonesia mempertahankan reputasinya sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Kegagalan pengelolaan haji tidak hanya merugikan jemaah, tapi juga akan mempermalukan bangsa di mata dunia Islam. Kita tentu senang dengan sikap Kementerian Haji Arab Saudi yang memberikan apresiasi terhadap penyenggaraan haji Indonesia tahun 2025, tentu dengan sejumlah catatan perbaikan.
Tantangan
Namun, seperti halnya setiap grand design kebijakan, Asta Protas Kementerian Agama menghadapi sejumlah tantangan struktural yang tidak boleh diabaikan.
Pertama, problem definisi operasional. Bagaimana kita mengukur keberhasilan peningkatan cinta kemanusiaan? Apa indikator konkret dari layanan keagamaan yang berdampak? Tanpa kejelasan parameter evaluasi, program-program ini berisiko menjadi jargon politik yang sulit dipertanggungjawabkan hasilnya.
Kedua, ego sektoral yang kronis. Pengalaman menunjukkan bahwa koordinasi antar-direktorat dalam satu kementerian sekalipun sering kali terhambat oleh kepentingan parsial masing-masing unit. Program pemberdayaan ekonomi umat yang digagas Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam akan pincang jika tidak sinkron dengan pemberdayaan pesantren di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, dan seterusnya.
Ketiga, kesenjangan kapasitas implementasi. Apakah aparatur di tingkat kabupaten/kota memiliki pemahaman yang memadai tentang konsep ekoteologi? Apakah mereka siap menjalankan program pendidikan yang ramah dengan pendekatan yang tepat? Kesenjangan antara konsepsi di Jakarta dan realitas di daerah adalah jurang yang harus segera dijembatani.
Di sinilah, menurut hemat saya, kita dapat memetik pelajaran dari pemikir Perancis, Alexis de Tocqueville (1835) dalam Democracy in America bahwa demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang efektif menuntut partisipasi aktif masyarakat sipil dan penyebaran kesadaran politik hingga ke tingkat akar rumput. Tanpa itu, kebijakan sebesar apa pun akan menjadi tumpukan kertas tanpa makna.
Tiga Langkah
Untuk memastikan Asta Protas Kementerian Agama tidak berakhir sebagai dokumen yang tersimpan rapi di rak dan menjadi ingatan kolektif publik, maka paling tidak diperlukan tiga langkah pengawalan yang sistematis.
Pertama, konsolidasi internal yang komprehensif. Kementerian Agama harus segera menyusun roadmap implementasi yang detail, lengkap dengan milestone dan key performance indicators yang terukur. Di samping itu, perlu dibentuk task force lintas direktorat untuk program yang membutuhkan sinergi tinggi. Yang juga strategis adalah realokasi anggaran berbasis prioritas, bukan berbasis kebiasaan atau bargaining power masing-masing unit. Prinsip ini tentu saja sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menuntut efisiensi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara.
Kedua, kemitraan strategis dengan perguruan tinggi keagamaan (PTKI). Sebagai akademisi di PTKIN, saya melihat peluang besar untuk kolaborasi substantif. UIN, IAIN, dan STAIN di seluruh Indonesia dapat menjadi think tank sekaligus testing ground untuk konsep-konsep baru seperti ekoteologi dan pendidikan ramah. Untuk itu, PTKI harus siap berkontribusi dalam pengembangan kurikulum, pelatihan SDM, hingga evaluasi dampak program.
Ketiga, mekanisme pengawasan publik yang independen. Perlu dibentuk dewan pengawas yang melibatkan ormas keagamaan, akademisi, dan elemen masyarakat sipil. Demikian pula penting membuka ruang bagi kritik konstruktif dan masukan perbaikan secara berkala. Baca juga: Surat Sakti Pejabat Transparansi bukan hanya soal akuntabilitas, tapi juga cara untuk melibatkan publik dalam ikhtiar bersama ini, sebagaimana juga diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Walhasil, delapan program prioritas Kementerian Agama bukan sekadar agenda birokrasi, tapi taruhan peradaban. Ia menentukan apakah Indonesia akan menjadi model negara yang berhasil mengelola keberagaman agama sebagai kekuatan atau justru terjebak dalam pusaran konflik yang berkepanjangan. Sebagai bangsa yang pernah membuktikan kemampuannya bangkit dari krisis multidimensi, kita memiliki modal sosial dan spiritual yang cukup untuk menjadikan Asta Protas Kementerian Agama sebagai katalis transformasi. Yang dibutuhkan kini adalah komitmen untuk mengawal visi mulia ini dengan kerja keras, kolaborasi tulus, dan pengawasan yang tak pernah surut.
Tinggalkan Balasan