Bineka.co.id, Makassar – PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk (PT GMTD) menegaskan bahwa klaim PT Hadji Kalla terkait kepemilikan lahan seluas 16 hektare di kawasan Tanjung Bunga tidak memiliki dasar hukum. Presiden Direktur PT GMTD Tbk, Ali Said, menjelaskan bahwa posisi perusahaan sepenuhnya berlandaskan dokumen resmi pemerintah yang telah menetapkan mandat pengelolaan kawasan tersebut sejak awal 1990-an.
Menurut PT GMTD, landasan hukum Tanjung Bunga telah diatur melalui serangkaian keputusan negara, antara lain SK Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi pada 8 Juli 1991, SK Gubernur Sulawesi Selatan pada 5 November 1991, serta dua SK penegasan gubernur pada 6 dan 7 Januari 1995. Keempat dokumen tersebut memberikan kewenangan tunggal kepada PT GMTD untuk melakukan pembelian, pembebasan, dan pengelolaan lahan di kawasan itu, tanpa memberikan ruang bagi pihak lain untuk memiliki atau memproses tanah dalam periode tersebut.
PT GMTD juga menekankan bahwa penetapan mandat tunggal itu merupakan bagian dari program pembangunan pemerintah dalam membuka kawasan wisata Makassar–Gowa, memicu pertumbuhan ekonomi, menghadirkan investasi swasta, serta menata kawasan rawa menjadi pusat pengembangan baru. Seluruh akses dasar, pematangan lahan, dan pembangunan infrastruktur awal disebut sebagai hasil investasi PT GMTD.
Terkait pernyataan PT Hadji Kalla mengenai penguasaan fisik sejak 1993, PT GMTD menyatakan klaim tersebut tidak relevan secara hukum. Pada masa itu, kawasan masih berupa rawa dan berstatus tanah negara, tidak ada pasar tanah, serta tidak ada izin lokasi selain yang dimiliki PT GMTD. Dalam ketentuan agraria, penguasaan fisik tanpa izin pemerintah tidak dapat menimbulkan hak kepemilikan.
PT GMTD juga merespons rujukan PT Hadji Kalla terkait Sertifikat HGB. Perusahaan menilai sertifikat tersebut harus ditinjau ulang legalitas objek tanahnya. Sebuah sertifikat dinilai tidak sah apabila diterbitkan tanpa dasar izin lokasi, IPPT, persetujuan pemerintah provinsi, pelepasan hak negara, maupun persetujuan dari PT GMTD selaku pemegang mandat kawasan. Bila unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi, sertifikat dapat dibatalkan secara administratif.
Klaim bahwa telah terjadi pembebasan lahan seluas 80 hektare pada 1980-an turut dipertanyakan PT GMTD. Tidak ada catatan resmi mengenai pencadangan lahan untuk pihak tersebut, tidak terdapat SK Gubernur yang memberikan hak, maupun dokumentasi pembebasan di arsip BPN, Pemprov Sulsel, dan Pemkot Makassar. Menurut PT GMTD, mengaitkan pekerjaan normalisasi Sungai Jeneberang dengan perolehan hak atas tanah dianggap tidak tepat.
PT GMTD menyatakan tidak pernah ada dokumen pengadilan, surat BPN, atau catatan administrasi yang membatalkan mandat pemerintah kepada perusahaan itu sejak 1991. Mereka pun mengundang PT Hadji Kalla untuk menunjukkan dasar hukum berupa izin lokasi 1991–1995, IPPT, SK Gubernur, akta pelepasan hak, atau persetujuan PT GMTD. Perusahaan menilai dokumen-dokumen tersebut tidak pernah terbit.
PT GMTD kembali menegaskan bahwa perusahaan tidak pernah menjual, melepaskan, atau mengalihkan lahan 16 hektare itu kepada pihak mana pun, sehingga klaim adanya pembelian oleh pihak lain dinilai bertentangan dengan hukum dan fakta lapangan.
Perusahaan juga melaporkan adanya penyerobotan lahan sekitar 5.000 meter persegi yang terjadi di dalam pagar resmi PT GMTD. Seluruh area 16 hektare disebut telah dipagari dan terdokumentasi secara visual. Dugaan penyerobotan itu telah dilaporkan ke Polda Sulawesi Selatan dan Mabes Polri, masing-masing melalui laporan LP/B/1897/X/2025, LP/B/1020/X/2025, serta laporan pengaduan pada 30 September dan 8 Oktober 2025.
Meski demikian, PT GMTD menyatakan tetap terbuka untuk berdialog dengan seluruh pihak sepanjang berada dalam koridor hukum. Perusahaan menegaskan tidak akan menawar-nawar ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah dan lembaga pertanahan karena integritas hukum kawasan Tanjung Bunga merupakan mandat publik yang harus dijaga.
PT GMTD merupakan perusahaan terbuka yang awalnya dipelopori Pemerintah Pusat dengan kepemilikan pemerintah daerah dan yayasan sebesar 32,5 persen, serta partisipasi masyarakat melalui PT Makassar Permata Sulawesi dengan porsi yang sama. Dewan komisaris meliputi Prof. Irawan Yusuf sebagai presiden komisaris independen, Hinca Panjaitan, Indra Yuwana, Primus Dorimulu, Theo L. Sambuaga, serta perwakilan pemerintah daerah dari Sulsel, Makassar, dan Gowa. Untuk dewan direksi, komposisi terdiri dari Ali Said sebagai presiden direktur, bersama Iqbal Farabi dan Danang Kemayan Jati.
Dokumentasi tambahan mengenai pemagaran resmi dan laporan penyerobotan juga telah disampaikan oleh PT GMTD sebagai lampiran. Perusahaan memastikan seluruh perimeter telah dibangun secara sah dan penguasaan fisik atas area tersebut berlangsung sejak mandat pemerintah diberikan.

Tinggalkan Balasan