Bineka.co.id, Jakarta – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menegaskan komitmennya memperluas akses transportasi umum massal hingga menjangkau kawasan perumahan. Namun, realisasi kebijakan ini dinilai memerlukan keseriusan lintas pemangku kepentingan agar benar-benar berjalan efektif.
Melalui Direktorat Jenderal Integrasi Antarmoda, Kemenhub saat ini tengah mengkaji pemberian subsidi bagi layanan angkutan pengumpan (feeder). Rencana tersebut diungkapkan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi dalam acara Akad Massal 26.000 KPR Sejahtera Likuiditas Pembiayaan Perumahan, Senin (29/9/2025) lalu.
Akademisi Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai inisiatif ini perlu diiringi revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang belum mewajibkan penyediaan transportasi umum sebagai bagian dari fasilitas umum di kawasan perumahan.
Menurut Djoko, tanggung jawab penyediaan akses transportasi publik tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada Kemenhub. Pemerintah daerah juga perlu dilibatkan melalui koordinasi lintas kementerian, seperti dengan Kementerian Dalam Negeri.
“Beberapa pemerintah daerah sudah mulai melangkah lebih dulu dengan membuat peraturan pendanaan angkutan umum,” ujar Djoko dalam keterangannya, Sabtu (4/10/2025).
Djoko mencontohkan, ada tiga daerah yang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) terkait pendanaan transportasi publik, yakni Pekanbaru, Semarang, dan Batam.
- Pekanbaru menetapkan alokasi maksimal 5% dari APBD untuk subsidi angkutan umum massal.
- Semarang mengalokasikan minimal 5% dari APBD untuk subsidi trayek tertentu, termasuk BRT dan kereta api.
- Sementara Batam mengatur minimal 10% dari total opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk pengembangan sistem BRT dan peningkatan layanan tiap tahun.
Kebijakan tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 yang mewajibkan minimal 10% penerimaan PKB dialokasikan bagi pengembangan transportasi umum.
Anggaran BTS Terus Tergerus
Meski pemerintah menargetkan pembenahan transportasi publik di 20 kota melalui RPJMN 2025–2029, implementasinya menghadapi tantangan besar. Anggaran untuk skema buy the service (BTS) justru terus mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Jika pada 2023 anggaran BTS mencapai Rp582,98 miliar, maka pada 2024 menurun menjadi Rp437,89 miliar, dan kembali anjlok menjadi Rp177,49 miliar di 2025. Tahun depan, alokasinya bahkan diperkirakan hanya Rp82,6 miliar, mencakup lima kota: Kabupaten Banyumas, Kota Manado, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Balikpapan.
“Penurunan ini tentu mengundang pertanyaan soal komitmen pemerintah terhadap pemerataan transportasi publik,” ujar Djoko.
Meski begitu, sejumlah pemerintah daerah mulai mengambil inisiatif dengan mengalokasikan anggaran mandiri. Tercatat, 38 pemerintah daerah di 12 provinsi telah memberikan subsidi transportasi publik melalui APBD mereka — terdiri dari 16 kota dan 10 kabupaten.
Beberapa di antaranya meliputi Trans Jakarta di DKI Jakarta, Trans Jateng di Jawa Tengah, Trans Jogja di DIY, Trans Metro Pekanbaru di Riau, Trans Musi Jaya di Palembang, hingga Suroboyo Bus di Surabaya.
Di tingkat kabupaten, program serupa juga mulai tumbuh, seperti Trans Wibawa Mukti di Kabupaten Bekasi, Trans Lakatan di Tanah Laut, serta Trans Sanggam di Balangan.
Djoko menegaskan, jika Indonesia ingin serius mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, pembenahan transportasi umum harus dimulai sejak sekarang.
“Kalau hanya menambah empat kota dalam RPJMN 2025–2029, itu terlalu lambat. Dua dekade tidak cukup untuk mencapai sistem transportasi publik yang merata,” tegasnya.
Ia menambahkan, dengan anggaran sebesar Rp1,2 triliun — setara biaya Program Makan Bergizi Gratis — pemerintah sejatinya sudah dapat membiayai operasional angkutan umum di 20 kota kecil dan menengah selama satu tahun penuh.
Tinggalkan Balasan