Setiap tanggal 8 September, dunia memperingati Hari Literasi Sedunia sebagai pengingat bahwa kemampuan membaca dan menulis bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan fondasi bagi kebebasan, kesetaraan, dan perdamaian. Di tengah situasi global yang ditandai oleh polarisasi identitas dan konflik berbasis agama, literasi memiliki makna yang jauh lebih dalam: ia menjadi pintu masuk menuju pemahaman lintas iman dan dialog antaragama yang konstruktif.

Literasi dalam konteks antaragama bukan hanya soal mengenal teks-teks suci atau doktrin keimanan, tetapi juga tentang kemampuan untuk membaca realitas sosial, memahami narasi kepercayaan lain, dan membangun empati lintas batas keyakinan. Seperti yang ditegaskan dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) pada 10–11 Juli 2024 di Hotel Shangri-La, di Jakarta, literasi keagamaan lintas budaya adalah upaya strategis untuk membina kolaborasi antarumat beragama dalam masyarakat yang inklusif. Berhadapan dengan konflik global, nasional dan lokal yang sering kali melibatkan elemen agama, pemahaman lintas iman menjadi kebutuhan mendesak dalam menjaga solidaritas dan kemanusiaan.

Dalam konteks studi antar iman, literasi berperan sebagai alat dekonstruksi prasangka. Ia memungkinkan individu untuk tidak hanya mengenali perbedaan, tetapi juga merayakan keberagaman sebagai kekayaan spiritual dan budaya. Ketika seseorang mampu membaca teks dan konteks agama lain dengan keterbukaan, maka dialog tidak lagi menjadi ajang pembenaran diri, melainkan ruang perjumpaan yang transformatif. Seperti yang diungkapkan dalam laporan Kompas (17 Mei 2024), Indonesia telah menunjukkan peran penting dalam mempromosikan literasi agama yang inklusif, bahkan diakui oleh komunitas internasional sebagai model toleransi dan kerja sama lintas iman.

Dalam laporan tersebut, Indonesia dipuji oleh komunitas internasional, khususnya dalam acara Dialog Lintas Agama ke-9 di Den Haag, Belanda, karena perannya dalam mempromosikan literasi keagamaan yang inklusif dan dialog lintas iman di berbagai tingkatan, termasuk di kawasan Asia dan dalam forum Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Pernyataan tersebut memperkuat narasi bahwa literasi antaragama bukan sekadar wacana lokal, melainkan kontribusi global yang diakui sebagai model toleransi dan kerja sama lintas keyakinan.

Hari Literasi Sedunia, dalam terang dialog antaragama, mengajak kita untuk melampaui sekat-sekat identitas dan membangun dunia yang lebih adil melalui pemahaman yang mendalam. Literasi bukan hanya tentang huruf dan kata, tetapi tentang hati yang mampu membaca penderitaan orang lain, dan pikiran yang sanggup merumuskan jalan damai. Di tengah tantangan intoleransi dan radikalisme, literasi menjadi bentuk keberanian moral untuk terus belajar, berdialog, dan hidup berdampingan.

Dalam semangat Hari Literasi Sedunia, literasi tak lagi sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan menjadi ibadah intelektual yang menyalakan kesadaran, membebaskan pikiran, dan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Ia adalah jalan sunyi namun kuat menuju pemahaman yang mendalam tentang diri, sesama, dan dunia. Ketika literasi dipraktikkan dalam ruang antaragama, ia menjelma menjadi jembatan spiritual yang menghubungkan perbedaan, meruntuhkan prasangka, dan membuka ruang perjumpaan yang penuh kasih. Di tengah dunia yang sering terbelah oleh identitas dan dogma, literasi menjadi cahaya yang menuntun kita untuk melihat dengan hati, bukan hanya dengan mata.

Dialog antaragama adalah ruang suci di mana literasi menemukan makna terdalamnya—bukan sebagai alat debat, tetapi sebagai sarana saling memahami dan merawat kemanusiaan bersama. Dalam dialog yang jujur dan terbuka, teks-teks suci dari berbagai tradisi dibaca bukan untuk saling menghakimi, melainkan untuk saling menyapa dan belajar. Literasi dalam konteks ini menjadi tindakan profetik: menghidupkan harapan, membangun solidaritas, dan meneguhkan bahwa di balik setiap perbedaan, ada kerinduan yang sama akan damai dan keadilan. Karena itu, memperingati Hari Literasi Sedunia adalah juga merayakan keberanian untuk mendengar yang berbeda, dan kesediaan untuk berjalan bersama dalam ziarah kemanusiaan lintas iman.