Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) kini tengah dibahas pemerintah. Sebagai agenda penting kenegaraan, pastilah momentum strategis ini menentukan arah pendidikan nasional di masa depan.

Di dalam proses ini tersimpan pertaruhan besar: apakah sistem pendidikan Indonesia akan benar-benar menjamin keadilan, mengakomodasi pluralitas, dan menjunjung tinggi nilai konstitusi? Atau justru mengukuhkan bias, ketimpangan, dan terjebak marginalisasi?

Karena itu, semua pihak –termasuk umat, masyarakat sipil–perlu membuka mata, memberi perhatian, dan terlibat secara aktif. Khususnya, perhatian besar perlu diberikan pada pendidikan agama dan keagamaan–madrasah, pesantren, dan lembaga pendidikan keagamaan lainnya–yang selama ini memainkan peran sentral dalam membentuk karakter bangsa.

Revisi UU Sisdiknas bukan hanya perbaikan sekolah dan kurikulum, tapi tentang bagaimana negara memperlakukan sistem pendidikan agama/keagamaan sebagai bagian integral dari pembangunan manusia Indonesia yang utuh, berbasis iman, akhlak, dan kebangsaan.

Dalam konteks inilah peran pengawasan menjadi sangat strategis. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag) mengambil peran aktif dan transformatif. Tak hanya fokus pada pengawasan aspek prosedural, tetapi juga membangun sebagai mitra substantif yang memastikan revisi UU ini tidak melenceng dari semangat konstitusi.

Tentu saja, pengawasan mengambil peran lebih dari listing kesalahan administratif, melainkan menjadi mekanisme etik yang memastikan bahwa proses legislasi berjalan akuntabel, partisipatif, dan berpihak pada keadilan pendidikan.

Komitmen tersebut tercermin kuat dalam rapat pembahasan progres revisi UU Sisdiknas yang digelar pada 11 Juni 2025 silam di kantor Ditjen Pendidikan Islam. Rapat ini dihadiri oleh jajaran pejabat teknis dari tim revisi UU Sisdiknas Kementerian Agama dan Itjen, yang bersama-sama mendalami substansi pasal-pasal dalam draf UU, dan mencermati tahap-tahap kinerja tim revisi tersebut.

Adalah Direktur PTKI Prof. Dr. Sahiron, MA., Kasubdit PAI SMA Lelis Suroya Herniatin, Kasubdit KSKK Imam Bukhori, Plt. Inspektur II Melia Fauziah, Dalnis Wawan Saeful Bahri, dan Kasubag II Taufik HS, yang aktif dalam diskusi arah dan langkah tim revisi UU Sisdiknas tersebut.

Dalam rapat, Itjen Kemenag menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses revisi ini secara profesional, akuntabel, dan konstruktif. Via WA Irjen H Kharunnas (karena sedang di SA) dan Plh Irjen Aceng Abdul Azis menyampaikan komitmen tersebut. Hal ini penting, mengingat revisi UU ini menyangkut hajat besar dunia pendidikan agama/keagamaan di Indonesia.

Keterlibatan Kemenag sendiri telah diatur dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 387 Tahun 2025 yang menugaskan Sekretaris Jenderal Kemenag RI Prof Dr Kamarudin Amin sebagai Ketua Tim Perumusan RUU Sisdiknas serta didukung oleh tim teknis unit Eselon I lainnya (tanpa Itjen).

Dalam konteks demikian, tentu saja Itjen menjadi unsur pengawas yang berperan strategis: memastikan setiap langkah tim teknis selaras dengan prinsip tata kelola yang baik dan berorientasi pada perlakuan adil bagi seluruh jenis pendidikan.

Isu Revisi

Salah satu isu penting yang muncul dalam proses revisi ini adalah nomenklatur. Dominasi istilah “sekolah” dalam draf awal RUU Sisdiknas menyimpan potensi eksklusi terhadap lembaga pendidikan agama/keagamaan. Hal ini bukan sekadar persoalan istilah, tetapi dapat berdampak langsung pada pengakuan legal, akses pembiayaan, dan status kelembagaan. Karena itu, Itjen mendorong penggunaan istilah yang lebih inklusif seperti “Sekolah/Madrasah/Pesantren/Sekolah Kristen dan lainnya,” agar pluralitas sistem pendidikan Indonesia tercermin dalam peraturan perundang-undangan.

Selain nomenklatur, persoalan pembiayaan juga menjadi perhatian serius. Selama ini, pembiayaan pendidikan agama dan keagamaan, terutama madrasah dan pesantren, sering kali tertinggal dibanding sekolah umum. Padahal, amanat konstitusi mengharuskan alokasi minimal 20 persen dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Melalui kajian berbasis bukti, tim teknis dan Itjen berusaha memastikan adanya skema pembiayaan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh lembaga pendidikan, termasuk yang berbasis keagamaan.

Upaya harmonisasi juga menjadi bagian penting dari proses ini. Undang-Undang Pesantren (UU No. 18 Tahun 2019) sudah lebih dulu mengakui kedudukan pesantren secara utuh. Maka, revisi UU Sisdiknas harus memastikan tidak terjadi tumpang tindih regulasi, atau bahkan kontradiksi norma. Sinkronisasi antarperaturan menjadi tugas berat yang memerlukan kecermatan hukum dan semangat kolaborasi lintas kementerian.

Mengawal Spirit Agama

Peran pengawasan Inspektorat dalam hal ini tidak berhenti pada aspek prosedural. Itjen Kemenag ingin menempatkan dirinya sebagai fasilitator substantif yang memastikan revisi UU Sisdiknas mengatur sistem pendidikan secara menyeluruh, tidak semata lembaga pendidikan formal.

Lebih jauh lagi, Itjen juga bertindak sebagai penjaga nilai konstitusional, memastikan agar nilai-nilai agama tetap menjadi roh dari sistem pendidikan nasional, sesuai dengan Pasal 32 UUD 1945.

Salah satu pendekatan yang diperkuat adalah partisipasi publik. Seperti juga paradigma kolaboratif Itjen, maka pengawalan revisi meniscayakan juga partisipasi publik non-KL. Proses legislasi yang sehat harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Sejauh pengetahuan Itjen, tim revisi telah menjadwalkan uji publik yang melibatkan organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, serta ormas keagamaan lainnya, bahkan dengan Majelis Masyayikh. Selain itu, masukan dari asosiasi guru madrasah dan pengelola pesantren/pendidikan keagamaan lain juga dihimpun sebagai bagian dari kajian berbasis bukti.

Dalam hal ini, Itjen berperan memastikan bahwa pelibatan masyarakat bukan hanya formalitas, melainkan sungguh-sungguh menjadi bagian dari proses deliberatif yang bermakna. Dalam rapat Ditjen Pendis-Itjen tersebut, hal demikian terungkap dengan baik.

Target internal Kemenag untuk merampungkan kajian pasal demi pasal pada semester ini, tentu bukan perkara mudah. Waktu yang sempit menuntut kesigapan dan kehati-hatian, agar tidak ada aspek krusial yang terlewat. Tantangan terbesar adalah menjaga kualitas di tengah tekanan tenggat, serta memastikan bahwa semangat konstitusi tidak dikorbankan demi kecepatan proses itu. Dari narasi yang dibangun, partisipasi Kemenag RI dalam revisi UU Sisdiknas menyiratkan semangat tepat tenggat waktu.

Hakekat Berdampak

Pada akhirnya, salah satu keberhasilan revisi UU Sisdiknas ditentukan oleh bagaimana prosesnya dikawal. Itjen Kemenag hadir bukan sekadar sebagai pengawas internal, tetapi sebagai mitra strategis yang mengawal ruh keadilan dan keberpihakan dalam setiap klausul. Pengawasan yang kuat akan melahirkan regulasi yang kokoh–regulasi yang tidak hanya legal secara formal, tetapi juga adil secara substansial.

Masyarakat luas pun punya peran untuk ikut terlibat. Sekali lagi, inilah dimensi kolaboratif dalam paradigma pengawasan berdampak. Revisi UU ini akan berdampak pada semua: guru, siswa, orang tua, bahkan para pembayar pajak. Kita tidak bisa menyerahkan masa depan pendidikan hanya pada elite birokrasi atau legislatif. Publik harus hadir dalam ruang partisipasi, menyuarakan gagasan, dan mengawal prosesnya dengan cermat. Dengan segala ikhtiar serius, Itjen mencoba berada bersama-sama publik berkontribusi pada kualitas revisi yang sedang dilakukan.

Revisi UU Sisdiknas adalah ikhtiar besar untuk menjaga martabat pendidikan berbasis iman dan akhlak. Dalam proses ini, pengawasan bukan sekadar alat kontrol, melainkan jantung etis yang menjaga agar hukum tidak kehilangan nurani. Maka, mengawal revisi ini dengan sungguh-sungguh adalah bentuk kontribusi nyata dalam merawat karakter bangsa dan menjamin keadilan dalam pendidikan–bagi semua, tanpa kecuali.

Kemarin, Inspektur II Ali Irfan menunjukan apresiasinya pada tim itjen yang telah terlibat dalam pengawasan. Diharapkan, revisi UU Sisdiknas terus mendapatkan perhatian, pengawalan bahkan Itjen perlu ruang partisipasi lebih dalam karena pendidikan hakikatnya urusan dasar masyarakat dan bangsa. Inilah refleksi pengawasan berdampak yang sesungguhnya.