Bineka.co.id, Makassar – Universitas Hasanuddin menyelenggarakan Seagrass Global Challenge Fund Workshop, sebuah lokakarya internasional bertajuk “Building Knowledge for Action in Southeast Asia”, yang bertujuan memperkuat upaya konservasi ekosistem lamun di kawasan Asia Tenggara. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, Rabu–Kamis, 9–10 Juli 2025, di Hotel Aston, Makassar.

Lokakarya ini diinisiasi oleh Project Seagrass dan Seagrass Restoration & Ecosystem Services Research Group (SESREG-Unhas), serta didukung oleh Synchronicity Earth. Program ini merupakan bagian dari rangkaian Seagrass Global Challenge Fund yang dirancang untuk mendukung pendanaan dan penguatan kapasitas organisasi konservasi lamun, sekaligus membangun jaringan pengetahuan lintas negara dan sektor.

Lamun, atau seagrass, merupakan tumbuhan berbunga yang tumbuh di perairan laut dangkal dan sering disalahartikan sebagai rumput laut. Padahal, lamun memiliki fungsi ekologis penting seperti menjadi sumber pakan biota laut, penahan erosi dasar laut, dan tempat berlindung serta berkembang biak bagi sejumlah organisme laut. Selain nilai ekologisnya, lamun juga dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam berbagai produk oleh masyarakat pesisir.

Lokakarya ini menjadi forum penting untuk mempertemukan akademisi, peneliti, komunitas, dan organisasi konservasi dari berbagai negara. Beberapa mitra yang terlibat antara lain Project Seagrass, YAPEKA, FORKANI, C3A (Filipina), SESREG-Unhas, dan Cardiff University.

Prof. Rohani Ambo-Rappe dari Universitas Hasanuddin memaparkan perkembangan riset lamun di Indonesia yang telah berlangsung sejak era 1970-an. Ia menekankan bahwa pengelolaan ekosistem lamun membutuhkan pendekatan ilmiah, kolaboratif, dan kontekstual.

“Ekosistem lamun menghadapi tekanan yang kompleks dan memerlukan pendekatan strategis berbasis kolaborasi, ilmu pengetahuan, dan kearifan lokal,” ungkap Prof. Rohani.

Diskusi dalam workshop terbagi dalam beberapa breakout session. Sesi pertama mengangkat isu Threats and Social-Ecological Barriers to Seagrass Conservation, membahas tekanan ekologis dan sosial terhadap lamun serta hambatan kelembagaan yang menghambat efektivitas konservasi. Sesi kedua bertajuk Knowledge Gaps and Research Priorities, difokuskan pada identifikasi kebutuhan riset berbasis lokal serta penyelarasan dengan agenda global seperti Ocean Decade.

Project Seagrass, sebagai salah satu pembicara utama, memaparkan tiga pilar pendekatan konservasi mereka: riset, komunitas, dan aksi nyata. Organisasi ini juga berkontribusi terhadap pencapaian beberapa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama dalam perlindungan ekosistem laut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Sebagai penutup kegiatan, para peserta melakukan kunjungan lapangan pada 11 Juli 2025 ke salah satu ekosistem lamun di pesisir Makassar. Kunjungan ini dipandu langsung oleh Prof. Rohani dan menjadi ajang pembelajaran langsung mengenai upaya rehabilitasi lamun di lapangan.

Lokakarya ini diharapkan menghasilkan strategi kolaboratif yang konkret dan berkelanjutan, memperkuat jaringan konservasi lamun di Asia Tenggara, serta meningkatkan kapasitas sains lokal dalam mendukung tata kelola pesisir yang inklusif dan adaptif.