Direktur Penerangan Agama Islam, Kementrian Agama RI, Ahmad Zayadi
Indonesia dianugerahi keragaman yang luar biasa. Kita lahir dan hidup dalam masyarakat yang memeluk berbagai agama, tradisi, bahasa, serta adat istiadat. Semua itu menjadi identitas luhur bangsa ini. Namun, sejarah juga mengajarkan kita bahwa keragaman bukanlah sesuatu yang otomatis menghadirkan harmoni. Ia harus dirawat, dijaga, dan diperkuat agar tidak berubah menjadi sumber konflik.
Di sinilah moderasi beragama menemukan relevansi paling nyata. Prinsip moderasi menjadi cara pandang dan sikap kita dalam beragama agar tetap seimbang, bijak, dan tidak ekstrem ke kanan atau ke kiri. Dengan begitu, moderasi beragama menumbuhkan ruang dialog, memperluas toleransi, sekaligus memperkuat rasa kebangsaan.
Lahirnya Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama menjadi pijakan penting untuk menata orkestrasi penguatan moderasi di semua lini, tidak hanya di Kementerian Agama tetapi juga di kementerian/lembaga lain dan masyarakat luas. Dari sinilah moderasi diarahkan menjadi gerakan bersama, sehingga tidak berhenti sebagai jargon, melainkan menjadi napas pembangunan bangsa.
Moderasi beragama juga tak bisa dilepaskan dari dinamika global. Banyak forum internasional menegaskan pentingnya pendekatan moderat dalam memelihara perdamaian, menghindari konflik berbasis identitas, dan memperkuat kerja sama lintas negara. Kita patut bersyukur, dalam beberapa tahun ke belakang, apa yang kini menjadi perhatian global sudah lama tumbuh dalam tradisi sosial kita.
Dalam suasana global yang masih diwarnai perang dan ketegangan antarnegara, pendekatan moderasi beragama menjadi sandaran penting agar suasana damai dalam negeri tetap terjaga. Moderasi menuntun kita untuk tidak mudah terseret arus provokasi dari luas, tetap memelihara kesejukan, dan mengokohkan rasa persaudaraan lintas iman. Dengan cara inilah kita memastikan bahwa situasi nasional senantiasa teduh, meski dunia di sekitar kita tengah bergejolak.
Di Indonesia sendiri, moderasi beragama mendapat ruang strategis dalam peta besar pembangunan ke depan. Lewat RPJMN 2025–2029, kita bersama-sama diarahkan untuk mewujudkan kehidupan beragama yang maslahat, sekaligus memajukan budaya.
Sasaran ini diterjemahkan ke dalam upaya meningkatkan indeks kualitas pembangunan masyarakat, mempererat kerukunan umat beragama, hingga memperbaiki layanan keagamaan di berbagai daerah. Semua itu semakin dikuatkan dengan dorongan khusus agar moderasi beragama benar-benar menjadi ruh dalam layanan bimbingan keagamaan, yang terus digerakkan dengan dukungan penuh dari anggaran negara.
Asta Protas Kementerian Agama bahkan memuat dengan lugas pada poin pertamanya yaitu “Meningkatkan Kerukunan dan Cinta Kemanusiaan”, yang dilakukan melalui lima hal penting, salah satunya adalah penguatan moderasi beragama. Semua ini senafas dengan Asta Cita kepemimpinan nasional yang menekankan penyelarasan kehidupan sosial yang harmonis dan toleran dengan lingkungan dan budaya. Dari sini tampak jelas: moderasi bukan tempelan, melainkan prasyarat agar bangsa ini tetap rukun sekaligus maslahat.
Konsistensi dan Komitmen Moderasi Beragama
Menjaga konsistensi dan komitmen terhadap moderasi beragama adalah kerja bersama yang tak boleh padam. Kita tidak ingin semangat moderasi hanya lahir di baliho atau tersimpan dalam laporan tahunan. Moderasi seharusnya hidup dalam cara kita mengambil keputusan, dalam wajah kebijakan publik, dalam cara kita berbicara, bahkan dalam layanan paling sederhana kepada masyarakat.
Asta Protas jelas menunjukkan bahwa meningkatkan kerukunan dan cinta kemanusiaan tak bisa dilepaskan dari penguatan moderasi beragama. Dari lima instrumen yang disebut, moderasi menempati posisi strategis. Artinya, setiap kebijakan dan layanan publik di lingkungan Kementerian Agama maupun lintas sektor seyogianya menempatkan moderasi sebagai fondasi berpikir dan bertindak.
Demikian pula Asta Cita ke-8 kepemimpinan nasional yang menekankan pentingnya harmoni sosial dan keberlanjutan budaya. Hal ini sangat selaras dengan nilai-nilai moderasi beragama yang mendorong kita tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga dewasa dalam sosial, toleran terhadap sesama, dan bijak terhadap kearifan lokal.
Bila moderasi terus kita arus-utamakan, pembangunan tak sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi atau fisik. Ia akan memperkokoh rasa aman warga dalam beribadah, memupuk sikap terbuka dalam menyikapi perbedaan, dan menciptakan pelayanan publik yang berkeadilan. Inilah mengapa mainstreaming moderasi bukan pilihan, tetapi keharusan agar moderasi tak sekadar amanat regulasi melainkan menjadi perilaku kolektif kita.
Kerukunan dan Kemaslahatan
Dalam konteks, ada kaidah yang sangat relevan: “ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب” (sesuatu yang menjadi sarana terlaksananya kewajiban, maka ia pun bernilai wajib). Menjaga kerukunan dan mewujudkan kemaslahatan jelas merupakan kewajiban besar dalam kehidupan berbangsa. Karena itu, segala ikhtiar yang menjadi jalan ke sana— termasuk mengarusutamakan moderasi beragama—sejatinya turut menjadi keharusan yang tak bisa dikesampingkan.
Dari sinilah kita dapat menengok kembali empat indikator moderasi beragama yang telah lama menjadi pijakan bersama: komitmen kebangsaan, toleransi, penolakan pada kekerasan, serta penerimaan terhadap tradisi. Semua ini adalah penunjuk jalan dalam membangun masyarakat yang matang dalam keberagamaan. Komitmen kebangsaan membuat kita kokoh pada Pancasila, UUD 1945, dan kebhinekaan sebagai simpul persatuan.
Toleransi membuka ruang dialog serta saling menghormati keyakinan yang berbeda. Penolakan pada kekerasan memastikan tak ada paksaan dalam urusan iman. Sedangkan penerimaan terhadap tradisi menjadi penyangga harmoni agar budaya lokal tak terpinggirkan.
Buahnya adalah “kerukunan” yang kokoh. Kita tidak mudah retak oleh isu agama yang dibungkus kepentingan sempit. Sebaliknya, kita lebih dewasa mengelola perbedaan, mengedepankan rasa kemanusiaan daripada sekat primordial. Dari kerukunan itu mengalir “kemaslahatan”. Layanan keagamaan berjalan inklusif, masyarakat merasa dilayani dengan berkeadilan, sehingga program pembangunan pun diterima dengan sukacita.
Inilah inti dari refleksi di sini: moderasi beragama adalah jalan menghadirkan kerukunan dan kemaslahatan bangsa. Ia bukan semata agenda Kementerian Agama, tetapi panggilan moral lintas sektor, lintas agama, lintas ormas, dan lintas generasi. Dengan moderasi, keberagamaan kita tidak hanya ritus vertikal, tapi juga energi sosial yang mengokohkan persaudaraan.
Tulisan ini hadir sebagai ruang berbagi harapan. Semoga semangat moderasi terus hidup dan menggerakkan langkah kita bersama, sehingga menjadikan Indonesia rumah yang damai, rukun, dan maslahat. Kelak, kita wariskan semua ini dengan penuh hormat dan kasih kepada generasi mendatang.
Tinggalkan Balasan