Bineka.co.id, Jakarta – Pemerintah China meningkatkan pengawasan terhadap pajak penghasilan global warganya, khususnya mereka yang berada di luar negeri. Mengutip laporan Bloomberg, Kamis (5/6/2025), otoritas pajak kini mulai menyasar kalangan kelas menengah ke atas, setelah sebelumnya menargetkan para konglomerat.
Menurut sejumlah sumber yang memahami kebijakan ini, pemerintah tengah memeriksa berbagai jenis pendapatan luar negeri, termasuk imbal hasil investasi, dividen, dan opsi saham yang diterima karyawan. Dalam banyak kasus, keuntungan investasi tersebut dapat dikenakan pajak hingga 20%.
Layanan konsultasi perpajakan di China mencatat lonjakan permintaan dari klien dengan aset di bawah US$1 juta, berbeda dengan tahun lalu yang mayoritas berasal dari individu beraset lebih dari US$10 juta. Fokus pengawasan kini meluas ke investor yang menanamkan modal di saham-saham Amerika Serikat dan Hong Kong.
Sampai berita ini ditulis, Administrasi Pajak Nasional China belum memberikan tanggapan resmi.
Langkah ini diambil seiring upaya pemerintah pusat untuk meningkatkan pendapatan negara dan mempersempit defisit fiskal yang kian melebar, setelah digelontorkannya berbagai stimulus untuk meredam tekanan dari kebijakan tarif Amerika Serikat.
Di saat bersamaan, pemerintah daerah juga didorong untuk mencari sumber pendapatan alternatif, menyusul lesunya pasar properti dan keterbatasan ruang fiskal akibat upaya penurunan utang.
Sementara itu, tren keluarnya kekayaan dari China meningkat tajam, dipicu perlambatan ekonomi dan regulasi ketat terhadap sektor swasta. Kampanye Presiden Xi Jinping dalam mewujudkan “kemakmuran bersama” turut memengaruhi kepercayaan para pelaku usaha, meski belakangan pemerintah berupaya membalikkan sentimen tersebut.
Data Bloomberg mencatat, investor dari daratan China telah menginvestasikan sekitar HK$658 miliar (US$83,9 miliar) ke bursa saham Hong Kong melalui jalur perdagangan lintas batas sepanjang 2025. Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Seorang sumber mengungkapkan bahwa Kementerian Keuangan melihat peluang menambah penerimaan negara dengan menindaklanjuti kewajiban pajak yang belum dilaporkan, meski secara hukum sudah menjadi objek pajak penghasilan perorangan.
Selama empat bulan pertama 2025, penerimaan pemerintah China tercatat turun 1,3% secara tahunan, sedangkan belanja meningkat 7,2%. Akibatnya, defisit anggaran membengkak hingga lebih dari 50% menjadi di atas US$360 miliar—angka tertinggi sepanjang sejarah untuk periode tersebut, menurut data Kementerian Keuangan yang dikutip Bloomberg.
Otoritas pajak di beberapa wilayah seperti Beijing, Shanghai, dan Zhejiang telah mengeluarkan seruan kepada warga untuk segera memeriksa pendapatan luar negeri mereka dan menyampaikan laporan pajak sebelum 30 Juni, bertepatan dengan batas akhir pelaporan penghasilan tahun fiskal 2024.
Tindakan ini dipicu oleh hasil analisis data besar yang mengungkap sejumlah pelaporan yang belum sesuai. Salah satu kasus yang dipublikasikan otoritas mencatat nilai tunggakan dan denda pajak mencapai 127.200 yuan (sekitar US$17.720).
Langkah ini mengikuti pemberlakuan skema pertukaran informasi pajak internasional (Common Reporting Standard/CRS) sejak 2018, yang memungkinkan pertukaran data otomatis antar 150 yurisdiksi mengenai aset warga negara asing. Meski aturan pajak atas pendapatan global telah lama berlaku di China, implementasi efektifnya baru dimulai tahun lalu.
Potensi pertumbuhan kekayaan pribadi di China juga mencengangkan. Menurut proyeksi, nilai aset investasi pribadi di daratan China diperkirakan akan mencapai US$80 triliun pada 2030, dengan porsi aset luar negeri meningkat hingga 11% dari total kekayaan.
Tinggalkan Balasan