Bineka.co.id, Makassar – Pier 52 by Makassar Golden Hotel dipenuhi suasana hangat dan penuh keakraban pada Jumat, 28 Maret 2025. Tokoh lintas agama, akademisi, dan kalangan muda dari berbagai latar belakang berkumpul dalam sebuah momen yang tak sekadar acara buka puasa bersama, tetapi juga menjadi ruang silaturahmi kebangsaan yang sarat nilai toleransi.

Di atas meja panjang yang dialasi daun pisang, beragam hidangan khas Indonesia disajikan — mulai dari ayam, ikan, tempe, hingga sambal dan nasi yang ditata tinggi di tengah. Konsep liwetan, yakni makan bersama secara lesehan dan mengambil dari wadah yang sama, menjadi simbol sederhana namun kuat tentang kesetaraan dan kebersamaan. Tak ada pembatas status, semua duduk sejajar, mengambil dan berbagi secara adil.

“Liwetan ini bukan sekadar cara makan, tetapi mencerminkan nilai bahwa kita berasal dari sumber yang sama. Duduk berdampingan, mengambil dari tempat yang sama, tanpa perbedaan,” ujar Rudi Gunawan, Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Sulsel usai kegiatan.

Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara INTI Sulsel dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Makassar, dengan mengangkat tema “Jejak Islam di Tiongkok dan Pengaruhnya terhadap Peradaban.” Kegiatan tersebut tak hanya bertujuan mengisi waktu menjelang berbuka, tetapi juga memperkuat pemahaman lintas budaya dan keagamaan.

Narasumber utama malam itu, Novi Basuki, yang merupakan Peneliti Kajian Islam Tiongkok sekaligus Dewan Pakar INTI, memaparkan sejarah panjang keberadaan Islam di Tiongkok yang selama ini kerap terabaikan.

“Tidak semua Tionghoa itu komunis, komunis belum tentu ateis, dan ateis pun bisa tetap menjunjung etika. Sejak tahun 1949, Islam tetap bertahan di Tiongkok meski berada di bawah rezim komunis,” terang Novi. Ia juga menggarisbawahi bahwa stereotip negatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia masih diwariskan oleh sistem pendidikan era 1960-an.

“Kita harus hilangkan stigma anti-Tionghoa. Lihatlah sisi baik dari setiap bangsa. Tiongkok memiliki banyak hal yang bisa kita pelajari. Bangsa ini butuh lebih banyak keterbukaan terhadap keberagaman,” imbuhnya.

Silaturahmi kebangsaan ini turut dihadiri sejumlah tokoh penting seperti Dr. KH. Saprillah Syahrir (Wakil Ketua PWNU Sulsel), Usman Sofian (Ketua PCNU Makassar), AGH. Abd. Mutthalib Abdullah (Rais Syuriyah PCNU Makassar), Ilham Arief Sirajuddin (mantan Wali Kota Makassar), serta perwakilan FKUB, PGIW, Densus 88, dan Yayasan Moderasi Beragama.

Ketua PCNU Makassar, Usman Sofian, menekankan bahwa bulan puasa bukan hanya tentang peningkatan spiritual pribadi, tetapi juga momentum mempererat hubungan sosial lintas iman.

“Melalui momen ini, kami ingin membangun harmoni kebangsaan yang nyata. Kehadiran tokoh lintas agama adalah bentuk komitmen agar nilai kerukunan tidak berhenti di acara seremonial, tetapi hidup dalam keseharian masyarakat,” katanya.

Kehangatan terasa sepanjang kegiatan berlangsung — dari diskusi penuh tawa ringan, senyum yang mengiringi suapan nasi, hingga sapa hangat antarumat beragama. Semua menguatkan pesan bahwa perbedaan tak menghalangi persaudaraan.

Sebagai Ketua Panitia, Rudi Gunawan menyebut pertemuan tersebut bukanlah akhir, melainkan awal dari kerja sama yang lebih luas dan berkelanjutan.

“Kita ingin terus merajut sinergi antarumat. Lewat liwetan sederhana ini, kita belajar bahwa harmoni bisa dimulai dari hal-hal kecil,” ucapnya.

Silaturahmi malam itu menjadi bukti nyata bahwa toleransi tak harus dikampanyekan secara formal — ia tumbuh dari kebersamaan yang tulus, dari sepiring nasi, sejumput sambal, dan niat untuk saling memahami.