Bineka.co.id, Makassar – Di tengah wangi dupa dan heningnya pagi di Vihara Sasandipa, Minggu (11/5/2025), puluhan orang mulai mengantre. Ada yang datang untuk diperiksa kesehatannya, ada pula yang duduk tenang setelah menyumbangkan darah. Di tempat ibadah umat Buddha itu, Waisak tak hanya dirayakan dengan doa, tapi juga dengan aksi nyata bagi sesama.

Inilah yang menjadi inti dari Bulan Bakti Permabudhi, rangkaian kegiatan sosial yang digelar oleh Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Sulawesi Selatan dalam memperingati Hari Trisuci Waisak 2569 BE.

Sejak pagi, warga dari berbagai usia hadir mengikuti donor darah, pemeriksaan kesehatan gratis, serta konsultasi langsung dengan para dokter dari RS Primaya Hertasning dan EyeQu LASIK & Eye Center. Pemeriksaan meliputi gula darah, kolesterol, asam urat, hingga mata. Para peserta juga mendapatkan edukasi kesehatan dan bingkisan sembako sebagai bentuk kepedulian panitia.

“Setiap Waisak kami adakan dua jenis kegiatan: ritual dan sosial. Kegiatan sosial inilah yang kami namai Bulan Bakti Permabudhi,” kata Ketua Permabudhi Sulsel, Yonggris.

Ia menjelaskan, kegiatan sosial tersebut bukan sekadar simbolik, tetapi benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat umum. “Kita lakukan berbagai aksi yang bermanfaat secara sosial. Bisa donor darah, bisa penghijauan, bisa bersih-bersih lingkungan. Bahkan kita juga ke taman makam pahlawan,” ujarnya.

Bagi Yonggris, Waisak bukan hanya perayaan spiritual bagi umat Buddha. Ia adalah kesempatan untuk memperkuat jembatan sosial antarumat, sekaligus momen untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

“Besok, tanggal 12 Mei, adalah puncak ritualnya di setiap vihara. Malamnya ada Sani Pata Waisak, acara ramah tamah lintas agama. Semua dari unsur agama kami undang, juga para pejabat pemerintahan. Kami ingin momen Waisak ini jadi wadah mempererat persaudaraan lintas iman dan lintas institusi,” tambahnya.

Yonggris juga menyinggung pentingnya memperjuangkan toleransi lewat jalur edukasi. Sebab Waisak juga bisa menjadi refleksi dalam kehidupan beragama, baik antar sesama umat Buddha maupun agama lain. “Intoleransi itu persoalan mental, dan terjadi di seluruh dunia. Kita jangan pernah berhenti mengedukasi. Kalau berhenti, ya mental masyarakat juga ikut turun,” ujarnya tegas.

Ia juga menyoroti tantangan internal agama yang kadang justru rusak oleh kepentingan politik oknum kelompok tertentu. “Agama mengajarkan kita untuk menghargai sesama dan menghargai alam. Tapi kalau sudah takut kehilangan pengaruh, itu bukan soal iman lagi, itu soal politik. Politik kekuasaan maupun politik dalam agama itu sama-sama bisa merusak,” pungkasnya

Di Vihara Sasandipa hari itu, nilai-nilai ajaran Buddha menjelma dalam bentuk paling sederhana namun bermakna: antrean donor darah, konsultasi kesehatan, dan senyum-senyum kecil dari para relawan. Waisak, melalui Bulan Bakti Permabudhi, menjelma menjadi ruang berbagi yang menyatukan spiritualitas dan aksi kemanusiaan—sebuah pengingat bahwa keyakinan sejati tumbuh subur saat dirawat dengan kepedulian terhadap sesama.